Rabu, 26 November 2014

Puteri Hujan


Siang ini hujan turun dengan derasnya, angin dingin berhembus melalui kisi-kisi jendela kelas, menerpa ganas tubuh murid-murid yang sedang serius memperhatikan soal-soal reaksi redoks yang terpampang di papan tulis. Naomi mendekap erat tubuhnya sambil menatap soal-soal kimia yang ditulis oleh Bu Dina, guru kimianya yang “luar biasa” itu.

Retha, teman sebangkunya, menatap heran gadis itu. “Mi, kok nggak dikerjain sih? Nanti kalau Bu Dina tahu kamu nggak ngerjain sama sekali gimana?”

Naomi melirik ke arah guru yang membelakanginya, “Soal susah kayak gitu siapa juga yang sudi ngerjain.” bisik Naomi perlahan.

“Hei, kalian berdua yang duduk di belakang, jangan ribut saja! Kalau nggak mau ngerjain tugas mendingan keluar saja!” pekik Bu Dina menggemparkan seisi kelas.

“Habis soalnya susah sih Bu!” seru Naomi diiringi pandangan kaget semua teman sekelasnya yang heran dengan perkataan ajaib gadis itu.

“Wah, wah, wah… bagaimana kamu tahu soal itu susah kalau nggak dicoba?! Sekarang lebih baik kamu kerjakan di luar. Saya nggak mau punya murid malas seperti kamu!” perintah Bu Dina keras, sehingga mau tak mau Naomi segera keluar kelas.

“Sudah! Sekarang yang lain selesaikan soal persamaan reaksi di depan!” perintah Bu Dina.

Naomi mendekap erat buku yang ada di tangannya, “Uh, sebel ngapain juga aku ngelawan Bu Dina! Udah di luar dingin lagi.” Naomi duduk di atas kursi batu yang ada di depan kelas sambil memandang hujan yang turun semakin deras. “Wah, Putri udah datang belum ya? Biasanya jam segini dia sudah ada di depan gerbang.” Naomi melihat jarum jamnya yang menunjukkan pukul 13:15.

Seminggu yang lalu Naomi berkenalan dengan Putri, seorang gadis pengojek payung berusia 12 tahun, saat Naomi terlunta-lunta di tengah hujan menunggu supirnya yang tidak kunjung tiba. Mereka saling bercerita mengenai hujan dan apa saja yang menarik.

“Duh enak ya, saya khan tidak bilang kamu boleh cuci mata kemana-mana!” teriakan Bu Dina menghablurkan lamunan Naomi.

“Eh Bu Dina!” Naomi salah tingkah.

“Coba lihat buku latihan kamu!” perintah Bu Dina.

Naomi memberikan buku latihannya, dia khawatir setengah mati karena belum ada tulisan apa pun di buku itu.

Bu Dina tersenyum, “Saya nggak lihat tulisan apa-apa, atau mungkin jawaban kamu sedang main petak umpet ya?!”

“Eng… maaf Bu, saya…” ucap Naomi terbata-bata.

“Oke, saya mau besok pagi sudah ada seratus lembar soal plus jawaban tugas tadi di meja saya!”

“Hah… tapi Bu.”

“Nggak ada tapi-tapian! Sekarang cepat masuk kelas dan pimpin doa!” perintah tegas Bu Dina yang langsung dituruti Naomi.

*****

“Putri! Kamu darimana aja, banyak langganan ya? Saya sudah nungguin kamu dari tadi loh!” seru Naomi di pinggir bale-bale, sementara hujan masih turun.

“Aduh maaf banget ya Mbak, ibu saya sakit, jadi saya…”

Naomi mengerutkan keningnya, “Sakit apa?"

“Nggak apa-apa kok Mbak, ibu cuma masuk angin biasa aja.”

“Hati-hati loh, masuk angin nggak bisa disepelein nanti bisa jadi sakit… sakit…”

“Sakit apa Mbak?” tanya Putri setengah ketakutan.

Naomi meraba keningnya, “Eng… pokoknya gawat deh!” seru Naomi sok tahu.

“Ketahuan nih Mbak nggak pernah dengerin gurunya ngajar ya?” goda Putri.

“Ah enggak juga.” Naomi malu bukan main.

“Mbak harusnya bersyukur loh. Masih banyak anak lain, termasuk saya, yang pengin banget sekolah.” tutur Putri prihatin.

“Iya Non, aku akan lebih rajin belajar lagi. Oh iya, ini ada hadiah buat kamu."

Putri menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya, "Buat saya mbak?" Putri membuka bungkusan itu, "Jaket... aduh ngerepotin segala."

"Udah ambil aja, dengan jaket itu kamu nggak akan kedinginan. Sekarang bagaimana kalau aku anterin kamu pulang, sekalian jenguk ibumu.”

Putri berseru khawatir, “Hah, lebih baik jangan deh.” cegah gadis itu.

“Memangnya kenapa? Udah deh, ayuk!” Naomi menarik tangan mungil Putri dan setengah menyeretnya masuk ke mobil yang dikendarai supirnya.

*****

Rumah Putri sangat mungil sehingga Naomi merasa heran bagaimana ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, dapur, kamar bahkan kamar mandi bisa cukup di dalamnya. Di depan rumahnya ada sejengkal tanah yang penuh ditanami bunga-bunga matahari yang sedang mekar dengan eloknya.

Putri membuka pintu rumahnya, “Silakan masuk, Mbak. Maaf rumah saya kecil.”

Naomi kembali lagi berdecak kagum, rumah Putri memang kecil namun rapi dan bersih. “Wow, rumah kamu bersih sekali! Aku rasa di sini tidak akan ada kecoa, tikus dan binatang menjijikkan lainnya.” puji Naomi.

“Ah, masih kalah sama rumah Mbak Naomi?” sahut Putri merendah.

“Enggak juga, rumahku nggak…” belum sempat Naomi menyelesaikan kalimatnya tiba-tiba terdengar suara wanita memanggil Putri.

“Putri, itu kamu Nak?” tanya suara itu.

Putri bergegas masuk ke dalam sebuah kamar diikuti Naomi di belakangnya, “Iya Bu, ini Putri.” Putri menyentuh kening ibunya. “Oh iya, ini ada Mbak Naomi, yang sering aku ceritain itu!”

Naomi mengulurkan tangannya “Selamat siang Bu, nama saya Naomi.” ujarnya ramah.

“Aduh Non repot-repot datang ke sini segala. Putri sudah sering cerita tentang kebaikan Non Naomi, terima kasih banyak ya!”

“Nggak apa-apa kok Bu, sudah seharusnya saya memperhatikan sesama yang membutuhkan.” ujar Naomi tanpa menyadari dari mana kata-kata itu keluar.

Naomi menikmati waktu-waktunya di rumah Putri sampai tidak menyadari hari semakin sore. "Wah sudah sore, aku harus pulang nih, kasihan juga supirku nungguin di mobil."

"Terima kasih ya mbak Naomi mau main ke sini.”

“Justru aku yang harus berterima kasih, ini ada sedikit uang untuk ibumu, beliau harus dibawa ke dokter. Biar sakitnya nggak tambah parah.” ujar Naomi.

“Tapi mbak…”

“Nggak ada tapi-tapian!” Naomi menirukan gaya bicara Bu Dina yang tadi siang memarahinya. “Ini semua khan demi kesembuhan ibumu!”

Putri tertawa mendengar nada suara Naomi yang dibuat kebatak-batakkan itu.

“Oke, aku pulang dulu. Nanti pamitkan ibumu ya, aku nggak tega membangunkannya. Bye…” Naomi melambaikan tangannya.

Lima belas menit kemudian Naomi sampai di depan gerbang rumahnya, aneh, padahal saat pergi tadi mereka menghabiskan waktu hampir satu jam untuk sampai ke rumah Putri. Di depan pintu telah berdiri mamanya yang cemas menatapnya.

“Aduh sayang, kamu darimana aja sih? Sudah jam enam sore nih! Pergi kok nggak bilang-bilang? Handphone kamu juga nggak aktif lagi.”

“Sorry banget Ma, tadi aku ke rumah Putri, temanku yang suka ngojekin payung itu loh. Eng... handphone, lupa nggak dibawa! Udah ya sekarang aku mau mandi dulu!” Naomi mengecup pipi mamanya dan segera berlari menaiki tangga, dari atas dia berteriak, “Ma, bikinin susu donk!”

Dari bawah mamanya mengeluh, “Sudah kelas dua SMU kok masih kayak anak SD gitu sih?”

Selesai mandi, Naomi duduk di atas ranjang sambil menyeruput susu coklat dan memijat-mijat kakinya yang pegal, “Aduh capek banget nih, tapi nggak apa-apa dapat pengalaman baru. He… he… huah… ngantuk banget, eng… tapi kayak ada yang nggak benar nih. Seperti ada sesuatu yang harus dikerjain deh, tapi apa ya? AH!!! Peer Kimia!” Naomi segera membongkar tasnya.

Waktu telah menunjukkan pukul 24:00, Naomi sudah tidak sanggup menulis lagi. Dan akhirnya terkulai lemas di meja belajarnya, “Bodo amat deh besok dimarahi Bu Dina.”

*****

Keesokkan paginya Naomi bangun dengan kepanikan yang amat sangat, segera dibereskannya kertas-kertas yang berserakkan di atas meja dan bergegas ke kamar mandi.

Di dalam mobil berputar banyak alasan yang akan diberikan kepada Bu Dina perihal tugasnya yang tak selesai. Tapi sesampainya di sekolah Naomi mau tidak mau harus terkejut setengah mati ketika tugasnya ternyata telah selesai. Persis 100 lembar!

“Wah, saya nggak nyangka kamu akan serajin ini! Jawabannya betul semua kok. Oleh sebab itu kamu harus kerjakan tugas dulu baru bisa bilang tugasnya susah atau mudah!” nasihat Bu Dina yang tampaknya hari ini sedang bergirang hati.

Naomi menelan ludah, “Tapi Bu, saya…”

“Kenapa Naomi?”

“Ah enggak Bu, saya permisi masuk kelas dulu.” Naomi beranjak berjalan ke dalam kelasnya. “Perasaan tadi malam aku cuma kerjain dua puluh lembar, kok bisa jadi seratus ya? Apa mungkin aku ngerjainnya sambil tidur? Ih, nggak mungkin banget. Ah, paling-paling Kak Yuki yang bantuin aku.” Naomi menghibur dirinya sendiri.

*****

Seminggu berlalu sejak kejadian ajaib itu, dibilang ajaib karena baik Kak Yuki, Mama atau Papa Naomi sama sekali tidak merasa mengerjakan tugas kimia Naomi. Dan Naomi masih ingat kata-kata Yuki, kakak laki-lakinya, “Nggak mungkin aku yang ngerjain, kerajinan amat. Jangan-jangan itu guardian angel kamu yang iseng, abis sebel ngelihat kamu males!”

"Hei Non, semua itu dapat dijelaskan dengan logika! Nggak usahlah percaya sama hal yang aneh-aneh. Palingan kamu yang lupa udah ngerjain berapa lembar." nasihat Retha setelah mendengar cerita Naomi.

"Kamu tahu khan, aku nggak pernah bisa ngerjain yang namanya kimia semudah apa pun soalnya. Aku sudah alergi sama semua hal yang berbau kimia. Mana mungkin aku tiba-tiba bisa ngerjain?" ujar Naomi tegas.

*****

Masalah baru timbul, sudah seminggu Putri tidak pernah muncul di sekolah Naomi. Naomi khawatir, pasalnya sehari sebelum Putri menghilang Naomi baru saja mengutarakan keinginannya untuk menjadi kakak asuh yang akan membiayai sekolah Putri. Dia takut Putri merasa tersinggung dan tidak enak hati atas maksudnya itu.

"Tapi kayaknya waktu itu dia asyik-asyik aja deh, nggak merasa tersinggung." sahut Naomi dalam hati sambil memainkan payung merahnya pada percikan air hujan yang keluar dari paralon di samping kantin.

Selembar kertas berbentuk kapal-kapalan tiba-tiba meluncur mengenai punggungnya, seorang gadis terkikik-kikik melihat Naomi yang asyik menggerutu.

"Retha! Ngapain sih iseng banget?" bentak Naomi kesal.

"Lagian ngelamun aja. Kok nggak pulang?” tanya Retha.

"Kamu sendiri? Ngapain nggak pulang, mau ngecengin pak satpam ya?"

Retha mencipratkan air hujan ke wajah Naomi, "Aku khan mau ekskul. Hayoo, sekarang alasan kamu apa, jangan-jangan kamu yang mau ngecengin satpam deh!"

"Enggak, aku lagi nungguin Putri, sudah seminggu dia nggak pernah muncul. Aku khawatir, jangan-jangan ada apa-apa sama dia." cerita Naomi.

"Dia udah bosen ketemu kamu kali?!" seru Retha asal.

"Jangan asal deh. Ehm, gimana kalau kita berdua ke rumahnya? Heran, kenapa nggak kepikir dari kemarin-kemarin ya?" sahut Naomi.

"Yah, aku tahu dengan kapasitas otak yang segitu sih pasti... eh tunggu, tadi kamu bilang kita berdua?"

Naomi beranjak bangun, “Iya, kita berdua ke rumah Putri. Ayuk!”

“Loh, aku khan mau ekskul.” Retha protes.

“Udah lah, sekali-kali bolos masa’ nggak boleh?”

Setelah perdebatan selama sepuluh menit akhirnya Retha bersedia ikut walaupun dengan hati penuh kekesalan.

*****

“Kamu yakin di sini rumahnya?” tanya Retha sambil memandangi lahan kosong yang terhampar luas di depannya.

“Iya, bener di sini kok. Iya khan Pak?” tanya Naomi disambut anggukan setuju supirnya.

Retha membuka jendela mobil, gemericik air hujan masuk ke dalam, “Tapi di sini nggak ada bangunan sama sekali.”

“Jangan-jangan digusur? Aduh, gawat nih!” pekik khawatir Naomi kemudian keluar dari mobil tanpa mempedulikan hujan yang masih turun.

Retha bergegas keluar sambil membuka payungnya, “Kita mesti tanya sama orang lain yang rumahnya dekat sini.”

“Non, di depan ada motor melaju, saya stop-in ya!” ujar pak supirnya Naomi.

Retha dan Naomi bergegas mendekati si pengendara motor, “Ada apa ya?” tanya si pengendara motor itu.

“Maaf Pak, rumah yang ada di situ sudah digusur ya?” tanya Naomi.

“Rumah yang mana?”

Retha tidak sabaran, “Itu yang letaknya di sana!” tunjuk gadis itu.

“Hah? Dari jaman nenek saya masih doyan sirih nggak pernah ada rumah di situ. Tempat itu dari dulu cuma tanah lapang yang biasa dipakai anak-anak main bola!” cerita si pengendara.

“Apa!!” teriak Naomi dan Retha bersamaan.

*****

Naomi cukup terpukul dengan kejadian yang baru dialaminya. Semua kejadian tersebut tidak bisa dimengertinya sampai suatu hari di saat hujan tidak turun sepucuk surat tiba-tiba ada di meja belajarnya.

Mbak Naomi,

Terima kasih atas semua bantuan yang telah diberikan kepadaku dan ibuku. Engkau seorang gadis yang baik hati, sesuai dengan pendapatku tentang manusia, manusia yang tidak mementingkan ego demi sesamanya. Maafkan atas segala kesalahanku terutama sekarang saat Kau tak lagi menemukanku.

Hujan tak pernah berdusta, dan aku pun demikian. Engkau harus percaya apa yang ada, karena dengan percaya kau bisa mengerti rahasia ini. Putri sebenarnya bukan manusia, aku adalah malaikat kecil bagi hujan. Putri turun ke dunia untuk membuktikan pendapatku pada Ayah bahwa masih ada manusia yang memiliki kebaikan. Terima kasih atas segalanya, maafkanlah..

Sebab Putri hanyalah seorang Puteri, Puteri Hujan

-ILLUVIA dama-*

Tidak ada akal sehat ataupun logika yang mampu menjawab semua pertanyaan dan jangan kuatir, Naomi tidak perlu itu, karena dia yakin hatinya sudah mampu bahkan sudah sempurna mencerna kejadian ini.

-END-
Foto: Cerpen: Puteri Hujan

Cerpen kali ini terinspirasi dari banyaknya anak-anak ojek payung di halaman SMA saya dulu. Kepikiran deh bikin cerita tentang mereka. Gimana sih ceritanya? Yuk, disimak.

*****

Siang ini hujan turun dengan derasnya, angin dingin berhembus melalui kisi-kisi jendela kelas, menerpa ganas tubuh murid-murid yang sedang serius memperhatikan soal-soal reaksi redoks yang terpampang di papan tulis. Naomi mendekap erat tubuhnya sambil menatap soal-soal kimia yang ditulis oleh Bu Dina, guru kimianya yang “luar biasa” itu.

            Retha, teman sebangkunya, menatap heran gadis itu. “Mi, kok nggak dikerjain sih? Nanti kalau Bu Dina tahu kamu nggak ngerjain sama sekali gimana?”

            Naomi melirik ke arah guru yang membelakanginya, “Soal susah kayak gitu siapa juga yang sudi ngerjain.” bisik Naomi perlahan.

            “Hei, kalian berdua yang duduk di belakang, jangan ribut saja! Kalau nggak mau ngerjain tugas mendingan keluar saja!” pekik Bu Dina menggemparkan seisi kelas.

            “Habis soalnya susah sih Bu!” seru Naomi diiringi pandangan kaget semua teman sekelasnya yang heran dengan perkataan ajaib gadis itu.

            “Wah, wah, wah… bagaimana kamu tahu soal itu susah kalau nggak dicoba?! Sekarang lebih baik kamu kerjakan di luar. Saya nggak mau punya murid malas seperti kamu!” perintah Bu Dina keras, sehingga mau tak mau Naomi segera keluar kelas.

            “Sudah! Sekarang yang lain selesaikan soal persamaan reaksi di depan!” perintah Bu Dina.

            Naomi mendekap erat buku yang ada di tangannya, “Uh, sebel ngapain juga aku ngelawan Bu Dina! Udah di luar dingin lagi.” Naomi duduk di atas kursi batu yang ada di depan kelas sambil memandang hujan yang turun semakin deras. “Wah, Putri udah datang belum ya? Biasanya jam segini dia sudah ada di depan gerbang.” Naomi melihat jarum jamnya yang menunjukkan pukul 13:15.

            Seminggu yang lalu Naomi berkenalan dengan Putri, seorang gadis pengojek payung berusia 12 tahun, saat Naomi terlunta-lunta di tengah hujan menunggu supirnya yang tidak kunjung tiba. Mereka saling bercerita mengenai hujan dan apa saja yang menarik.

            “Duh enak ya, saya khan tidak bilang kamu boleh cuci mata kemana-mana!” teriakan Bu Dina menghablurkan lamunan Naomi.

            “Eh Bu Dina!” Naomi salah tingkah.

            “Coba lihat buku latihan kamu!” perintah Bu Dina.

            Naomi memberikan buku latihannya, dia khawatir setengah mati karena belum ada tulisan apa pun di buku itu.

            Bu Dina tersenyum, “Saya nggak lihat tulisan apa-apa, atau mungkin jawaban kamu sedang main petak umpet ya?!”

            “Eng… maaf Bu, saya…” ucap Naomi terbata-bata.

            “Oke, saya mau besok pagi sudah ada seratus lembar soal plus jawaban tugas tadi di meja saya!”

            “Hah… tapi Bu.”

            “Nggak ada tapi-tapian! Sekarang cepat masuk kelas dan pimpin doa!” perintah tegas Bu Dina yang langsung dituruti Naomi.

*****

            “Putri! Kamu darimana aja, banyak langganan ya? Saya sudah nungguin kamu dari tadi loh!” seru Naomi di pinggir bale-bale, sementara hujan masih turun.

            “Aduh maaf banget ya Mbak, ibu saya sakit, jadi saya…”

            Naomi mengerutkan keningnya, “Sakit apa?"

            “Nggak apa-apa kok Mbak, ibu cuma masuk angin biasa aja.”

            “Hati-hati loh, masuk angin nggak bisa disepelein nanti bisa jadi sakit… sakit…”

            “Sakit apa Mbak?” tanya Putri setengah ketakutan.

            Naomi meraba keningnya, “Eng… pokoknya gawat deh!” seru Naomi sok tahu.

            “Ketahuan nih Mbak nggak pernah dengerin gurunya ngajar ya?” goda Putri.

            “Ah enggak juga.” Naomi malu bukan main.

            “Mbak harusnya bersyukur loh. Masih banyak anak lain, termasuk saya, yang pengin banget sekolah.” tutur Putri prihatin.

            “Iya Non, aku akan lebih rajin belajar lagi. Oh iya, ini ada hadiah buat kamu."

            Putri menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya, "Buat saya mbak?" Putri membuka bungkusan itu, "Jaket... aduh ngerepotin segala."

            "Udah ambil aja, dengan jaket itu kamu nggak akan kedinginan. Sekarang bagaimana kalau aku anterin kamu pulang, sekalian jenguk ibumu.”

            Putri berseru khawatir, “Hah, lebih baik jangan deh.” cegah gadis itu.

            “Memangnya kenapa? Udah deh, ayuk!” Naomi menarik tangan mungil Putri dan setengah menyeretnya masuk ke mobil yang dikendarai supirnya.

*****

Rumah Putri sangat mungil sehingga Naomi merasa heran bagaimana ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, dapur, kamar bahkan kamar mandi bisa cukup di dalamnya. Di depan rumahnya ada sejengkal tanah yang penuh ditanami bunga-bunga matahari yang sedang mekar dengan eloknya.

Putri membuka pintu rumahnya, “Silakan masuk, Mbak. Maaf rumah saya kecil.”

Naomi kembali lagi berdecak kagum, rumah Putri memang kecil namun rapi dan bersih. “Wow, rumah kamu bersih sekali! Aku rasa di sini tidak akan ada kecoa, tikus dan binatang menjijikkan lainnya.” puji Naomi.

“Ah, masih kalah sama rumah Mbak Naomi?” sahut Putri merendah.

“Enggak juga, rumahku nggak…” belum sempat Naomi menyelesaikan kalimatnya tiba-tiba terdengar suara wanita memanggil Putri.

“Putri, itu kamu Nak?” tanya suara itu.

Putri bergegas masuk ke dalam sebuah kamar diikuti Naomi di belakangnya, “Iya Bu, ini Putri.” Putri menyentuh kening ibunya. “Oh iya, ini ada Mbak Naomi, yang sering aku ceritain itu!”

Naomi mengulurkan tangannya “Selamat siang Bu, nama saya Naomi.” ujarnya ramah.

“Aduh Non repot-repot datang ke sini segala. Putri sudah sering cerita tentang kebaikan Non Naomi, terima kasih banyak ya!”

“Nggak apa-apa kok Bu, sudah seharusnya saya memperhatikan sesama yang membutuhkan.” ujar Naomi tanpa menyadari dari mana kata-kata itu keluar.

Naomi menikmati waktu-waktunya di rumah Putri sampai tidak menyadari hari semakin sore. "Wah sudah sore, aku harus pulang nih, kasihan juga supirku nungguin di mobil."

"Terima kasih ya mbak Naomi mau main ke sini.”

“Justru aku yang harus berterima kasih, ini ada sedikit uang untuk ibumu, beliau harus dibawa ke dokter. Biar sakitnya nggak tambah parah.” ujar Naomi.

“Tapi mbak…”

“Nggak ada tapi-tapian!” Naomi menirukan gaya bicara Bu Dina yang tadi siang memarahinya. “Ini semua khan demi kesembuhan ibumu!”

Putri tertawa mendengar nada suara Naomi yang dibuat kebatak-batakkan itu.

“Oke, aku pulang dulu. Nanti pamitkan ibumu ya, aku nggak tega membangunkannya. Bye…” Naomi melambaikan tangannya.

Lima belas menit kemudian Naomi sampai di depan gerbang rumahnya, aneh, padahal saat pergi tadi mereka menghabiskan waktu hampir satu jam untuk sampai ke rumah Putri. Di depan pintu telah berdiri mamanya yang cemas menatapnya.

“Aduh sayang, kamu darimana aja sih? Sudah jam enam sore nih! Pergi kok nggak bilang-bilang? Handphone kamu juga nggak aktif lagi.”

“Sorry banget Ma, tadi aku ke rumah Putri, temanku yang suka ngojekin payung itu loh. Eng... handphone, lupa nggak dibawa! Udah ya sekarang aku mau mandi dulu!” Naomi mengecup pipi mamanya dan segera berlari menaiki tangga, dari atas dia berteriak, “Ma, bikinin susu donk!”

Dari bawah mamanya mengeluh, “Sudah kelas dua SMU kok masih kayak anak SD gitu sih?”

Selesai mandi, Naomi duduk di atas ranjang sambil menyeruput susu coklat dan memijat-mijat kakinya yang pegal, “Aduh capek banget nih, tapi nggak apa-apa dapat pengalaman baru. He… he… huah… ngantuk banget, eng… tapi kayak ada yang nggak benar nih. Seperti ada sesuatu yang harus dikerjain deh, tapi apa ya? AH!!! Peer Kimia!” Naomi segera membongkar tasnya.

Waktu telah menunjukkan pukul 24:00, Naomi sudah tidak sanggup menulis lagi. Dan akhirnya terkulai lemas di meja belajarnya, “Bodo amat deh besok dimarahi Bu Dina.”

*****

            Keesokkan paginya Naomi bangun dengan kepanikan yang amat sangat, segera dibereskannya kertas-kertas yang berserakkan di atas meja dan bergegas ke kamar mandi.

            Di dalam mobil berputar banyak alasan yang akan diberikan kepada Bu Dina perihal tugasnya yang tak selesai. Tapi sesampainya di sekolah Naomi mau tidak mau harus terkejut setengah mati ketika tugasnya ternyata telah selesai. Persis 100 lembar!

            “Wah, saya nggak nyangka kamu akan serajin ini! Jawabannya betul semua kok. Oleh sebab itu kamu harus kerjakan tugas dulu baru bisa bilang tugasnya susah atau mudah!” nasihat Bu Dina yang tampaknya hari ini sedang bergirang hati.

            Naomi menelan ludah, “Tapi Bu, saya…”

            “Kenapa Naomi?”

            “Ah enggak Bu, saya permisi masuk kelas dulu.” Naomi beranjak berjalan ke dalam kelasnya. “Perasaan tadi malam aku cuma kerjain dua puluh lembar, kok bisa jadi seratus ya? Apa mungkin aku ngerjainnya sambil tidur? Ih, nggak mungkin banget. Ah, paling-paling Kak Yuki yang bantuin aku.” Naomi menghibur dirinya sendiri.

*****

Seminggu berlalu sejak kejadian ajaib itu, dibilang ajaib karena baik Kak Yuki, Mama atau Papa Naomi sama sekali tidak merasa mengerjakan tugas kimia Naomi. Dan Naomi masih ingat kata-kata Yuki, kakak laki-lakinya, “Nggak mungkin aku yang ngerjain, kerajinan amat. Jangan-jangan itu guardian angel kamu yang iseng, abis sebel ngelihat kamu males!”

"Hei Non, semua itu dapat dijelaskan dengan logika! Nggak usahlah percaya sama hal yang aneh-aneh. Palingan kamu yang lupa udah ngerjain berapa lembar." nasihat Retha setelah mendengar cerita Naomi.

"Kamu tahu khan, aku nggak pernah bisa ngerjain yang namanya kimia semudah apa pun soalnya. Aku sudah alergi sama semua hal yang berbau kimia. Mana mungkin aku tiba-tiba bisa ngerjain?" ujar Naomi tegas.

*****

            Masalah baru timbul, sudah seminggu Putri tidak pernah muncul di sekolah Naomi. Naomi khawatir, pasalnya sehari sebelum Putri menghilang Naomi baru saja mengutarakan keinginannya untuk menjadi kakak asuh yang akan membiayai sekolah Putri. Dia takut Putri merasa tersinggung dan tidak enak hati atas maksudnya itu.

            "Tapi kayaknya waktu itu dia asyik-asyik aja deh, nggak merasa tersinggung." sahut Naomi dalam hati sambil memainkan payung merahnya pada percikan air hujan yang keluar dari paralon di samping kantin.

            Selembar kertas berbentuk kapal-kapalan tiba-tiba meluncur mengenai punggungnya, seorang gadis terkikik-kikik melihat Naomi yang asyik menggerutu.

            "Retha! Ngapain sih iseng banget?" bentak Naomi kesal.

            "Lagian ngelamun aja. Kok nggak pulang?” tanya Retha.

            "Kamu sendiri? Ngapain nggak pulang, mau ngecengin pak satpam ya?"

            Retha mencipratkan air hujan ke wajah Naomi, "Aku khan mau ekskul. Hayoo, sekarang alasan kamu apa, jangan-jangan kamu yang mau ngecengin satpam deh!"

            "Enggak, aku lagi nungguin Putri, sudah seminggu dia nggak pernah muncul. Aku khawatir, jangan-jangan ada apa-apa sama dia." cerita Naomi.

            "Dia udah bosen ketemu kamu kali?!" seru Retha asal.   

            "Jangan asal deh. Ehm, gimana kalau kita berdua ke rumahnya? Heran, kenapa nggak kepikir dari kemarin-kemarin ya?" sahut Naomi.        

            "Yah, aku tahu dengan kapasitas otak yang segitu sih pasti... eh tunggu, tadi kamu bilang kita berdua?"

            Naomi beranjak bangun, “Iya, kita berdua ke rumah Putri. Ayuk!”

            “Loh, aku khan mau ekskul.” Retha protes.

            “Udah lah, sekali-kali bolos masa’ nggak boleh?”

            Setelah perdebatan selama sepuluh menit akhirnya Retha bersedia ikut walaupun dengan hati penuh kekesalan.

*****

            “Kamu yakin di sini rumahnya?” tanya Retha sambil memandangi lahan kosong yang terhampar luas di depannya.

            “Iya, bener di sini kok. Iya khan Pak?” tanya Naomi disambut anggukan setuju supirnya.

            Retha membuka jendela mobil, gemericik air hujan masuk ke dalam, “Tapi di sini nggak ada bangunan sama sekali.”

            “Jangan-jangan digusur? Aduh, gawat nih!” pekik khawatir Naomi kemudian keluar dari mobil tanpa mempedulikan hujan yang masih turun.

            Retha bergegas keluar sambil membuka payungnya, “Kita mesti tanya sama orang lain yang rumahnya dekat sini.”

            “Non, di depan ada motor melaju, saya stop-in ya!” ujar pak supirnya Naomi.

            Retha dan Naomi bergegas mendekati si pengendara motor, “Ada apa ya?” tanya si pengendara motor itu.

            “Maaf Pak, rumah yang ada di situ sudah digusur ya?” tanya Naomi.

            “Rumah yang mana?”

            Retha tidak sabaran, “Itu yang letaknya di sana!” tunjuk gadis itu.

            “Hah? Dari jaman nenek saya masih doyan sirih nggak pernah ada rumah di situ. Tempat itu dari dulu cuma tanah lapang yang biasa dipakai anak-anak main bola!” cerita si pengendara.

            “Apa!!” teriak Naomi dan Retha bersamaan.

*****

            Naomi cukup terpukul dengan kejadian yang baru dialaminya. Semua kejadian tersebut tidak bisa dimengertinya sampai suatu hari di saat hujan tidak turun sepucuk surat tiba-tiba ada di meja belajarnya.

Mbak Naomi,

            Terima kasih atas semua bantuan yang telah diberikan kepadaku dan ibuku. Engkau seorang gadis yang baik hati, sesuai dengan pendapatku tentang manusia, manusia yang tidak mementingkan ego demi sesamanya. Maafkan atas segala kesalahanku terutama sekarang saat Kau tak lagi menemukanku.

            Hujan tak pernah berdusta, dan aku pun demikian. Engkau harus percaya apa yang ada, karena dengan percaya kau bisa mengerti rahasia ini. Putri sebenarnya bukan manusia, aku adalah malaikat kecil bagi hujan. Putri turun ke dunia untuk membuktikan pendapatku pada Ayah bahwa masih ada manusia yang memiliki kebaikan. Terima kasih atas segalanya, maafkanlah.. 

Sebab Putri hanyalah seorang Puteri, Puteri Hujan 

                                                                                       -ILLUVIA dama-*

Tidak ada akal sehat ataupun logika yang mampu menjawab semua pertanyaan dan jangan kuatir, Naomi tidak perlu itu, karena dia yakin hatinya sudah mampu bahkan sudah sempurna mencerna kejadian ini.

-END-

0 komentar:

Posting Komentar