Selasa, 30 September 2014

Pantun Nasehat_1

Sungguh indah pintu dipahat
Burung puyuh di atas dahan
Kalau hidup hendak selamat
Taat selalu perintah Tuhan


Buat apa berbaju batik
kalau Tidak pake selendang 
Buat apa berwajah cantik
Kalau tidak mau sembahyang


Air dan api slalu berlawanan
Langit dan bumi adalah berjauhan 
 Kalau hati penuh kedengkian
Siapalah orang yang akan mau berteman


Ada Tukang kayu membuat Peti
Peti yang bagus berbahan kayu jati
Mari bersihkan diri dan sucikan hati
Jauhkan sifat dengki serta iri hati


Sungguhlah manis si buah nangka
Makannya hati-hati karena ada getahnya
Jauhkan diri untuk berburuk sangka
Buruk sangka itu tdak baik akibatnya




Di tepi kali saya menyinggah
Menghilang penat menahan jerat
Orang tua jangan disanggah
Agar selamat dunia akhirat

 
Tumbuh merata pohon tebu
Pergi ke pasar membeli daging
Banyak harta miskin ilmu
Bagai rumah tidak berdinding


Anak ayam turun sepuluh
Mati satu tinggal sembilan
Tuntutlah ilmu dengan sungguh-sungguh
Supaya engkau tidak ketinggalan


Anak ayam turun sembilan
Mati satu tinggal delapan
Ilmu boleh sedikit ketinggalan
Tapi jangan sampai putus harapan


Anak ayam turun delapan
Mati satu tinggal lah tujuh
Hidup harus penuh harapan
Jadikan itu jalan yang dituju

Senin, 29 September 2014

Langit di Siang ini

Dalam hiruk pikuk tengah kota,
surya terasa di atas kepala.
Tak sengaja tatapan terbawa,
lihat ke tempat yang tak biasa.

Tak tentu warna langit kini.
Entah cerah atau mendung.
Tak tampak pula wibawanya kini,
yang terpandang di hari lalu.


Angin berhenti berlalu,
karena tanya yang sama dari banyak orang
Tentang kegundahan di tengah hari.

Langit baca tiap hati,
yang ingin ia meraja lagi.
Awan pun terayu pergi,
oleh bahana tentang keriangan hari.

Biru kembali penuhi mata,
tanpa ragu ia berwarna.
Sihir muka yang muram durja,
langit telah kembali meraja.

Pesan dari Pojok Kamar

Sebatang lilin
Nyalanya berkelap-kelip diterpa angin yang berembus pelan
Hampir padam
Sedang degup jantung yang berkejaran jauh di keremangan
Tak ada yang peduli
Dan orangorang yang datang dari luar
Meniupnya lebih keras lagi.ingin cepat padam
“biarlah sama sekali hitam”
Lalu mereka pergi entah dan dikuncinya pintu ruang
Dari luar


Sebatang lilin di pojok ruangan
Teronggok diam
Dan tubuhnya yang meleleh dan berleleran di lantai
Menangis pelan lalu berbisik pada dedaunan
Menyampaikan salam degup jantung yang semakin kencang

Sebatang lilin dan degup jantung di pojok ruangan yang hitam
Diamdiam menatap tajam
Fajar yang mulai menyingsing
Warnanya merah.begitu merah
Semerah darah
Tak ada matahari yang bertahta
Dan malam kembali datang

Luka Untukku

Burung-burung tak lagi berkicau mengalunkan nada indahnya
Pelangi taklagi menampakkan warnanya
Matahari taklagi menghangatkan jiwa ini
Hingga tanduslah tanah tempat ku berpijak

Pisau ini…pisau ini
Tlah menjadi saksi bisu
Darah yg mengalir tlah terlepas tubuhku
Goresan luka sulitlah tuk menutup


Ya! Inilah aku! Ini aku!
Telah dibuangnya jatuh ke dasar lautan
Sulitku tuk capai permukaan
Sunyi sepi tak bersuara

Buat apalagi ku berucap
Jika tak ada lagi yang mendengar
Buat apalagi ku berbuat
Jika tiada lagi yang rasakan

Sebentuk hati yang dulu hidup di jiwa ini
Tlah menjadi puing-puing berserakan
Tak lagi dapat ku pahat kembali
Tak lagi hidup kembali

Diary Senja

menatap hampa di langit senja
tiada yang tertera disana
selain goresan lembayung
aku cemburu . .
begitu yang ku tulis di dinding hati ini
bahkan tiada yang menghiasinya
seperti langit itu

ku pandangi lagi
sisa-sisa tinta di diary ku
hanya ada huruf-huruf yang menyayat perasaan ku
kertas itu semakin basah
menyamarkan kata-kata yang baru saja tertulis oleh pena ku sendiri
dan kegelapan malam pun merebak, seolah meredupkan mata ku yang sembab


katakan pada bulan jika nanti dia datang
ku takan melihatnya untuk sekedar bersajak
aku ingin istirahat.. Dari permasalahan yg kini ku hadapi
dan ku berharap akan ada sekepal asa untuk ku berdiri esok hari

Minggu, 28 September 2014

Suara Sang Kertas

Aku putih, tapi aku juga bisa coklat, bisa juga kuning, hijau dan pink. Tapi mereka menyukai aku bebewarna putih. katanya, putih itu terlihat bersih dan terlihat mahal. padahal, semua warna itu indah. Semua warna mempunyai kecantikan masing-masing.

Kemarin, aku mendapat sebuah cerita yang lucu sekali. cerita itu benar-benar bagus menurutku. tentang perjalanan kisah cinta antara dua remaja, tapi kali ini diuraikan lewat kata-kata atau kalimat-kalimat yang sangat ringan dan penuh humor, sehingga menjadikan cerita itu termasuk dalam kategori romantika comedy.
Di dalam cerita itu dikatakan bahwa ada sepasang kekasih akhirnya harus berpisah untuk waktu yang cukup lama karena sang lelaki mendapat kenyataan kalau dirinya mengidap penyakit CANCER. dia harus dibawa ke luar negri untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik lagi disana.

Aku sempat berfikir, karena dia harus di bawa keluar negri? Apakah disana tidak ada anak bangsa yang berhasil lulusan fakultas kedokteran Dan menyandang gelar dokter? Aku sering mendengar banyak sekali orang-orang pergi keluar negeri hanya untuk general check up berobat disana, Sepertinya mereka lebih percaya kepada tenaga medis si luar negeri daripada tenaga medis di Indonesia. kenapa begitu ya?
Tadi malam kantuk cepat sekali menghampiri tuanku. dia meletakkan benda panjang itu tepat di atas tubuhnku. Cairan sedikit menetes melumuri putihku. lantas dia pergi tidur meningalkan aku yang masih penasaran dengan kelanjutan cerita itu. Kalau sudah begini, kadang-kadang aku tidak mau menghapiri hari. Biarlah hari tetap siang dan tuanku tetap terjaga dan menuliskan sejuta cerita untukku.

Aku berharap hari ini dia menyentuhku lagi dengan kelanjutan cerita yang sangat aku nantikan. Aku juga sangat mengharapkan dia menguhujani aku lagi dengan kalimay-kalimat bermakna penuh cinta. Aku sangat menyukai cerita-cerita yang dibuat olehnya. Cerita-ceritaitu sangat dalam, penuh sisi romantis, dan bisa membuat aku terbuai.

Dua bulan lalu, temanku punya cerita yang menurutku kalian harus tahu. Rasa-rasanya aku memang harus dan sangat perlu menyampaikan cerita pada kalian.
Temanku ini sangat lembut, sangat luas, bahkan lebih halus dari aku. Orang-orang itu lebih suka memilih dia dari pada aku. Padahal, temanku itu lebih suka kalu dia menjadi sebagai yang tidak terpilih. Setiap hari hanya kesedihan dan ketakutan yang membayangi hari-harinnya.
Temanku sangat iri sekali terhadapku. Dia pernah bialng begini. “hei.., kau itu lebih bahagia dari pada aku. meskipun aku lebih bagus, lebih putih, lebih halus, tapi nasibmu jauh lebih baik dari pada nasibku.”
Mula-mula aku tidak paham dengan apa yang diucapkan. Tapi lama-lama aku mengerti. Benda itu telah menyakitkannya, bahkan setiap hari. Benda itu telah membuatnya ketakutan setiap hari. Benda itu sangat keras dan kaku. benda itu selalu menderanya dengan kengerian yang mendalam setiap harinya.
Kini dia suadah pergi. Temanku itu sudah pergi untuk selamanya. aku ingat perbincangan kami pada sebuah pertemuan yang sangat berkesan dan tidak pernah aku lupakan. Dia berkata: “aku harus mengabdi pada dia. Dia sangat baik, tidak seperti tuanku. Tuanku itu sangat kejam dan tidak punya perasaan. Aku iri kepadamu.”

Aku semakin bisa mensyukuri keadaanku ini. Aku mulai bisa mencintai tuanku. Bagiku dia seperti cahaya, yang setiap saat mendekatiku dan menghangatkan tubuhku. Jari-jarinya mampu mengagalkan semua mimpi buruk tentang hari esok. Tapi diam-diam aku juga takjub pada temanku itu. Aku tidak dapat membayangkan seandainya aku menjadi dia. Mungkin aku akan memanggil angin agar masuk ke sela-sela jendela dan meniup tubuhku hingga melauangkan ke luar ruangan, dan mendaratkan aku ketempat yang lebih berarti.
Aku tidak akan pernah membiarkan tubuhku dilindas oleh benda yang disebut manusia sebagai mesin bernama PRINTER. Aku tidak mau tubuhku digoresi oleh tulisan-tulisan kaku, tidak juga huruf-huruf yang keluar dari kecanggihan teknologi.

Aku ingin selalu begini. selalu di sentuh oleh jari-jari yang hangat, yang bernyawa. Aku bahagia bila tinta-tinta itu menggoresi aku. Begitu indah, begitu hangat dan begitu tulus, sampai-sampai aku merasakan bahwa aku kini mempunyai nyawa.

Walaupun terkadang tubuhku diremas begitu keras dan dicampakan begitu saja ditempat sampah, tapi aku tetap bahagia. Aku senang karena tubuhku pernah menampung goresan-goresan tangan manusia yang lewat penanya yang menuliskan kalimat-kalimat yanng hidup. Tangan-tangan itu selalu mampu membuat aku terlelap dengan belaiannya.

Aku sangat mencintai tuanku. Aku akan mengabdi diriku padanya. Bagiku tuanku adalah seorang yang sangat jenius. Aku akan selalu membiaskan sinar kedalam matanya; memberikan banyak inspirasi untuknya.
Aku bangga karena tubuhku pernah menampung karya-karya indah dari penyair cinta. Karya itu bagaikan sebuah udara yang berhembus menyejukkan hatiku. Karya itu seperti seraut wajah cantik yang menari-nari didepan mataku. Karya itu seperti setapak jalan yang meruncing di ujungnya, dengan dasar bebatuan yang dingin seperti bebatuan gunung. Jalan itu mampu menyembuhkan kaki-kaki yang penat keletihan.

Aku adalah kertas yang sangat beruntung, karna tuanku sangat menghargai aku. Baginya aku adalah sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya. sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya. Baginya aku selimut hangat yang mampu menghangatkannya dari dinginnya udara keresahan batin yang selalu mengganggunya di benak.

Aku seperti malaikat kecil yang mempunyai sayap dipunggungnya. Dan bisa terbang mengitari wajahnya lalu hinggap disebelah telinganya sambil membisikan sejuta kalimat sutra. Aku mencintaimu tuanku seperti dia mencintai aku.

Pelangi Sesudah Hujan

Hujan…
Memang tak terlalu deras, tapi sudah cukup untuk membuat seragam ku basah setidaknya aku sendirian, aku menyukai hujan tapi bukan karena aku menyukai basahnya aku hanya menyukai airnya yang perlahan membasahi tubuh ini.. Tak ada yang bisa melihat tangis ku kan?

Ternyata benar tentang apa yang sering dikatakan orang-orang
“menyembunyikan daun harus di tengah hutan.. Dan menyembunyikan tangis harus di tengah hujan”
Seandainya waktu dapat berputar kembali…
Tapi tidak mungkin kan?
Karena air yang mengalir pun tak akan berhenti untuk mengikuti takdirnya, menangis ku memang tak ada gunanya

Sepi, sunyi, senyap dan sendiri… Terlalu munafik jika ku berkata tengah takut disini, karena kata-kata itulah yang telah mendarah daging pada tubuh orang kesepian ini, ayah dan ibu apa kalian bahagia disana? Tanpa aku? Yah diriku seorang yang pembawa masalah? Pasti kalian bahagia kan?
Hujannya semakin deras.. Seperti tengah mendukung kegiatan ku untuk menangis lebih keras..
“kaori…” panggil sebuah suara yang amat ku kenal tengah menyebut nama ku, charli itulah dia
“apa yang kau lakukan disini?” lanjutnya lagi
“pergi..” ucapku
“hei kaori… Apa kau tahu makna dibalik nama mu itu?” ucapnya
Jujur aku tidak tahu dan aku tidak terlalu berminat untuk tahu, ayah dan ibuku juga tidak pernah memberitahukannya pada ku, kenapa? Tentu karena mereka tidak disini, mereka meninggalkan ku, sendirian…
“kuat…” ucapnya seolah dia yang mengerti semuanya
Aku tertegun sesaat
“mereka ingin kau kuat.. Mereka ingin mewujudkan melalui nama pendek mu itu..” ucapnya meyakinkan
“mereka ingin ku kuat? Nyatanya aku memang sudah kuat.. Aku di dunia ini sendiri… Mereka pergi..” ucapku dengan linangan air mata yang tersamar oleh air hujan
“sudahlah jangan menangis.. Itu tidak cocok untuk mu” ucapnya sungguh menyebalkan
“…” aku hanya diam
“apa kau tahu… Setidaknya kau hargai nama itu.. Karena mereka sungguh menyayangi mu.. Dan karena mereka menyayangi mu lah mereka tidak membawa mu pergi bersama mereka”
Aku diam saja
“mereka masih ingin kau menikmati hidup… Bersemangatlah.. Karena akan ada pelangi setelah hujan” ucapnya
“maaf tapi sepertinya aku tidak mempercayainya… Karena kebahagiaan ku telah tersesat untuk menemukan ku….”
“tersesat? Carilah mereka! Dan arahkan kepada jalan yang benar! Hidup mu masih panjang.. Masa lalu? Tataplah lurus ke depan dan jadikan yang lalu pelajaran.. Hidup cuma sekali kau sia-siakan maka kau akan menyesal sesudah mati..!” ucapnya separuh berteriak
“apa aku dapat mempercayai mu?”
“apa?”
“tentang pelangi sesudah hujan?”
“hem.. Percayalah…” ucapnya
Yang kemudian hujan reda secara perlahan yang setelah itu disambut dengan sinar yang nampak datang dengan malu-malu bersama sebuah senyuman dari pelangi.
“aku percaya” ucapnya sambil menatap pelangi itu

Aku dan Rumus

Namaku Mega, aku adalah seorang pelajar SMP yang baru berumur 14 tahun. Seperti remaja pada umumnya aku sangat senang sekali menjelajahi dunia internet, mulai dari facebook, twitter, sampai Yahoo mail sudah aku kuasai, sampai terkadang aku lupa waktu belajar. Sebagai pelajar seharusnya aku belajar setiap harinya, apalagi sebentar lagi aku akan segera melaksanakan UN (Ujian Nasional). Sebuah kalimat yang mengerikan bagiku dan pelajar lainnya, yaaa… memang tak asing lagi bagiku kata UN, hampir setiap hari guru mengigatkannya.

Ohh sial, pagi ini harus bertemu dengan angka angka dan rumus rumus yang membuat jatungku meledak, memang tidak asing lagi bagi siapa saja yang mendengar kata “Rumus” yaaa… rumus memang menjadi hal yang wajib dalam pelajaran Matematika dan Fisika (salah satu pelajaran yang aku musuhi).
“Ohh leganya bisa bernafas kembali dan melewatkan pelajaran yang sudah membuatku pusing”. Ujarku.
“Apa sebegitu bencinya kau dengan rumus?”. Ujar salah satu temanku.

Memang tak bisa aku pungkiri jika aku merasa takut ketika melihat rumus. Angkanya yang membingungkan dan rumusnya yang membuatku pusing menjadi faktor utama. Pada waktu masuk kelas, tiba saatnya pelajaran bahasa Indonesia, oh senangnya hati saya seperti malam merindukan bulan, oh senangnya tidak melihat rumus-rumus menjengkelkan itu lagi, saya sangat bahagia belajar tanpa rumus, hati riang membelah angkasa, tiba-tiba bel berbunyi, yeee… pulang, baca doa, beri salam pada guru, lalu pulang ke rumah dengan hati yang membisik langit.

Sesampainya di rumah aku mulai menyadari bahwa rasa takutku pada rumuslah yang akan menghancurkan semua cita citaku, kita tidak akan bisa hidup tanpa menghitung dan yang paling aku ingat adalah Matematika dan Fisika itu termasuk pelajaran yang di UN kan. Aku mulai berfikir dan intropeksi diri, keegoisanku dan tak ada usaha juga yang telah mempengaruhiku untuk membenci rumus.

Seiring berjalannnya waktu aku mulai merubah diri. Hari demi hari telah aku lewati, begitu pula dengan rumus demi rumus yang sudah aku hafalkan, dan seperti air yang mengalir aku mulai menyukai rumus.
Sekarang rumus sudah menjadi sahabat yang melekat di hari hariku, dan aku baru tersadar bahwa sebenarnya rumus itu sangat mudah untuk dipelajari asalkan kita mau belajar dan berusaha, karena kunci kesuksesan adalah dari diri sendiri. Kita bisa mencapai langit ke 7, tapi sebelum itu harus melewati langit pertama dan seterusnya, karena di dunia ini kita tidak hidup sendirian, masih banyak manusia lain yang ingin menggapai langit ke 7.

Biarkan mereka menjadi saingan, karena memang terkadang hidup perlu bersaing. Jangan biarkan kamu jatuh terbelenggu sebelum menggapai cita citamu, tunjukan kemantapanmu untuk berusaha sungguh sungguh mempelajari apa yang belum pernah kamu pelajari dan mencoba untuk melakukan apa yang belum pernah kamu coba. Dan yang terpenting adalah cobalah untuk mendekati apa yang kamu tidak suka daripada menjauhi apa yang kamu tidak suka.

Izinkan Aku Menangis dalam Senyummu

Langit begitu muram, membakar awan hingga tampak merah menganga. Menyulut hingga dasar hatiku, membakat rongga-rongga dada hingga jantungku. Membuat hatiku murka pada Kekuatan Abadi yang memaksa bapakku kembali ke haribaan-Nya. Tiadatidak untuk mnolak kehendak Sang Berkehendak. Air mataku larut dalam genangan pasrah, tengkurap dalam dekapan bunda. Butir-butir mutiara bergiliran menetes dari sela-sela bibir bunda, mengundang segenap malaikat tuk belai hatiku, tenangkan jiwaku yang tengah hancur. Angin sumilir menerpa keranda, mengantarkan bapakku kembali pada Yang Tak Pernah Pergi.
Tasbih beriring do’a menggema di dinding-dinding cakrawala, berikan kabar gembura akan bapakku yang tengah bersenandung rindu di surga. Mataku tak berkedip menatap lukisan di dinding bambu itu. Aku teringat, tepat delapan bulan lalu, saat ulang tahunku yang ke 15, buah tangan ayahku sebagai hadiah ulang tahunku. Salam senyum hangat memeluk tubuhku, menuturkan penggalan kata surga, mengisyaratkan akan kepergiannya segera. Pesan yang begitu menyentuh kalbu, tetapi maksudnya tak mampu kutahu. Suasana hati yang riang bahagia, membuatku larut dalam pesta sederhana malam itu hingga berlian yang mengenai telingaku tak mampu ku dengar.
Kini telingaku mulai melebar, mencari sisa-sisa berlian yang telah dijatuhkan bapakku dalam pori-pori gendang ini. Otakku juga memaksa syaraf-syarafnya, mengais sejarah-sejarah delapan bulan silam. Untung, kertas putih yang terbungkus darah masih tercecer di otakku. Tulisannya nampak begitu jelas di otakku: “berbahagialah dengan sisa umurmu, sebuah perbuatan yang mulia tak selamanya terlihat indah. Lebih baik mati sebagai manusia walau terlihat seperti binatang, daripada hidup sebagai binatang namun tampak seperti manusia.”
Kini aku tersadar, pesan bapakku telah nyata dalam duniaku saat ini, dimana banyak orang menjadikan dirinya sebagai binatang yang rakus akan tetesan kesejukan dunia yang menipu, juga tak sedikit orang yang terlihat seperti binatang, mengais mengorek sampah demi lalunya nyawa.
Kata itu membuat aku tahu, bahwa apa yang aku rasa, apa yang aku tahu, dan apa yang terfikir olehku selama ini, sebelum bapakku meninggalkanku ternyata berbanding terbalik dengan kebenaran yang hakiki. Aku merasa hidup ini mudah dan menyenangkan tetapi aku tak tahu, bahwa selama ini bapakku terjepit dan bersedih, bersenandung dengan terik mentari di luar sana. Yang aku tahu hanya keringat dan darah yang telah berubah menjadi rupiah. Yang terfikir oleh otak kecilku hanya glamour dan limpahan surga, namun aku tak sampai berfikir, bahwa bapakku merelakan jazatnya berlinang di neraka demi senyumku.
Mataku belum berpindah dari lukisan itu. Rasa sedih bercampur luka menggores hatiku hingga aku tak mampu meraba maksud bapakku. Air mataku melinang tak tertahan. Hatiku hanya bisa bersedih dan bertanya-tanya: “bapak, mengapa engkau begitu jahat dengan dirimu sendiri? Mengapa engkau bunuh dirimu dengan senyumku? Sudahkah tak ada hal lain yang lebih engkau inpikan daripada senyumku? Mengapa engkau tak ingin membagi rasa dengan anakmu ini? Apa aku masih terlalu dini tuk meneteskan air mata? Mengapa engkau tak izinkanku menangis dalam senyummu?
Jantungku terasa sesak, penuh akan rasa lara hati ini.
———-0———-
Delapan bulan silam, setelah bapakku tak lagi mampu memberikan senyumnya padaku. Ada bunda yang gantikan senyum itu juga langkah bapakku dalam menerpa kehidupan ini.
Aku teringat, sore itu bunda menampakkan hidungnya terlihat hampa walau tertutup dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Namun aku tak mampu menahan emosiku tuk luapkan rasa kecewaku kepada bunda.
”Sabar dulu nak, ibu pasti kabulkan permintaanmu.” Tutur kata lembut, Belaian tangan lembut serta kesabaran yang begitu nyata tak mampu ku tanggapi dengan sempurna. Aku tak tahu, apa yang ada di otakku saat itu. Setan apa yang merasuk hati ini hingga saat itu aku benar-benar murka, aku benar-benar kecewa, bahkan menatap matanya aku tak sudi. Pikiranku hanya terisi oleh glamour, dan apa yang kuinginkan terkabul dengan segera. Aku tak befikir bagaimana bisa terkabul permintaan yang tinggi sedangkan untuk makan sehari-hari hanya mengandalkan tulang bundaku saat itu juga. Kedinianku benar-benar menbuat nalar dewasaku buta, membuat mataku tak mampu melihat, terhalang kelopak dunia yang dusta.
Sebelum aku terbangun dari tidur lelapku, bunda mulai melangkahkan kakinyadari rumah bambu ini. Berlari mengejar sisa-sisa nasi dalam tumpukan sampah, mengais rupiah dalam bangkai dan nanah. Tekat yang begitu besar, hanya ingin melihat senyumku, menbuat bunda memaksakan tubuhnya yang kusam dan kering itu bertahan dalam jeratan takdir yang kurang sepadan.
Bunda, mengapa engkau juga tak jujur padaku? Mengapa engkau juga bunuh diri dengan senyumku? Apa sebenarnya arti dari senyum ini, jika engkau sendiri tak mampu tersenyum? Mengapa kau tak bilang padaku, Bahwa engkau tak tahan melawan kenyataan? Mengapa kau membiarkanku buta akan semua ini? Aku tahu, engkau pulang pasti membawa senyum manis untukku, namun kini aku juga tahu, nyatanya engkau terajajah oleh waktu, terpanggang mentari, terjerembab dalam tumpukan sampah. Sesal susah gelisah bercampur dalam tubuh ini hingga panas dingin rasaku pilu.
Aku teringat sore itu bunda pulang dengan senyum palsu, menutupi sakit perih tubuhnya yang letih. Namun aku tetap tak peduli dengannya. Hingga pagi itu aku temui tubuhnya terbujur kaku diatas tikar jerami dengan kotak kecil dalam dekapannya. Air mataku berlinang tak henti memandang isi kotak kecil terbungkus koran bekas itu. Hanya ada sepucuk kertas merah bertuliskan pesan terahir sebagai hadiah ulang tahunku. “Nak, gunakan sisa waktumu tuk menjadi manusia seutuhnya, jangan seperi bapak dan ibumu yang seakan menjadi hewan. Maafkan ibu bapakmu yang tak mampu jujur padamu.”
Aku janji pada diriku, aku tak kan pernah lupakan jasa-jasa yang telah engkau berikan selama ini. Juga kan ingat selalu pesan yang telah terekam oleh otakku.
Bapak, ibu,…. Andaikan engkau masih ada saat ini, aku pasti memohon padamu hingga engkau benar-benar rela tuk ijinkan aku menangis dalam senyummu, agar aku tahu ini rasamu. Tapi sayang, semua ini kutahu saat semua telah berakhir.

Ibu, Syurga Nyata Bagiku

Di sudut kamar bada maghrib, seorang wanita setengah baya duduk meyendiri setelah shalat maghrib. Pandangannya kosong menerawang jauh kedepan. Berat. Sepertinya ia memikirkan beban yang sangat berat. Ia hanya mengelus dadanya dan sesekali dengan lirih mengucap istighfar. Dilihatnya jam dinding tua yang menggantung di ruang tamu. Tak lama kemudian ada seseorang mengetuk pintu. Ia cepat-cepat membukakannya.
“Darimana saja kamu Din?” suaranya yang penyabar.
“Main.” jawab Dini ketus. Dini adalah anak sulung dari dua bersaudara. Adiknya Nia masih duduk di bangku Smp. Ia sangat nurut dengan ibunya, beda dengan kakaknya, Dini. Ia sangat berubah setelah ditinggal ayahnya beberapa tahun lalu yang menikah dengan perempuan lain.
Tanpa menggubris ibunya, Dini langsung masuk ke kamarnya. Ibunya hanya sesekali mengelus dada melihat tingkah laku anaknya yang semakin brutal ini. Ia hanya mampu mengadu pada selembar sajadah yang diiringi dengan doa-doa nya.
Pagi hari Dini cepat-cepat langsung berangkat sekolah. Tanpa ia sarapan, tanpa ia pamit, ia langsung menyambar sepeda motor yang terpakir di samping rumahnya.
“Din, ndak sarapan dulu nduk?” kata ibunya, namun ia sudah langsung pergi. Ibunya hanya diam dan mempersiapkan peralatan anak sulungnya, Nia. Setelah itu ia mengemasi barang dagangannya yang akan dijual. Ia seorang penjual gorengan dan menjajakannya keliling dari rumah ke rumah. Demi bisa menyekolahkan kedua anaknya ia rela harus membanting tulang dan harus bekerja keras. Sejak suaminya menikah dengan perempuan lain, dan lepas tanggung jawabnya, ia memulai hidupnya dengan menjual gorengan. Terkadang bada dzuhur ia baru pulang bekerja. Setiba di rumah ia langsung menyiapkan makanan buat kedua anaknya.
Siang hari di meja makan yang sederhana, Ibu, Dini dan adiknya Nia makan bersama.
“Bu, sesekali makan laut ikan apa. Ndak tahu tempe aja.” gerutu Dini di meja makan.
“Habiskan dulu makananmu” jawab ibunya.
“Ah, ibu selalu saja begitu.” kata Dini lalu meninggalkan meja makan tanpa menghabiskan sisa makanannya. Ibunya hanya mengeleng-geleng kepala. Selesai makan, Nia ikut membereskan meja makan dan selalu membantu ibunya.
Bada maghrib, Dini bersiap-siap untuk keluar. Ibunya menghampiri yang masih dandan depan kaca.
“Mau kemana lagi Din?” kata ibunya yang terus memperhatikan anak sulungnya.
“Mau ke rumah teman” kata Dini yang masih sibuk dengan dirinya.
“Pulangnya jangan malam-malam nduk”
Namun Dini masih diam dan cepat-cepat pamitan keluar.
Denting waktu berputar dengan pelan namun pasti. Dilihatnya jam dinding tua yang menggantung di ruang tamu. Jarum sudah menunjukkan pukul 20, namun Dini belum pulang juga. Semakin ditunggu, semakin belum pulang. Ia mulai cemas dengan Dini yang belum pulang juga.
“Ni, mbakmu belum pulang juga.” tanyanya pada Nia, adik Dini.
“Ndak tahu bu. Mungkin masih ada urusan”
Kebimbangan masih menyelimuti hati wanita itu. Putaran waktu tiada pernah berhenti. Ditunggu-tunggu sampai pukul 22 malam belum pulang juga, sementara Nia sudah tertidur lelap di kamarnya. Menunggu yang tiada pasti membuat wanita itu tertidur di ruang tamu.
Tengah malm pukul 01, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Ibu itu langsung bangun dan cepat-cepat membukakan pintu.
“Selamat malam bu, apa ini rumahnya Dini?” Suara pemuda yang seumuran Dini.
“Iya.”
“Anak ibu Dini tengah mabuk di jalan serut bersama teman-temannya. Mari buk saya antar untuk jemput anak ibu.”
Seperti disambar petir tanpa hujan. Sekejap wanita itu langsung berangkat bersama pemuda itu.
Benar, ditemuinya anak sulungnya yang mabuk di jalan serut. Itu adalah tempat yang biasa buat balapan sepeda motor. Dengan perasaan kecewa, perih, dan prihatin ia membawa pulang Dini.
Mentari menyelinap di balik jendela kamar Dini. Membuat Dini terbangun dari tempat tidurnya. Ia langsung menuju kamar mandi, setelah selesai ia pergi ke meja makan. Ia berharap akan ada makanan yang tersedia di meja itu. Sayang, setelah dibukanya tudung saji ternyata kosong.
“Bu. Mana makanannya?.” kata Dini sedikit keras. Ibunya keluar dari dapur dan menghampirinya.
“Kamu sudah membuat ibu kecewa sama kamu Din. Ibu benar-benar tidak menyangka kamu akan setega ini sama ibu. Semalam kamu mabuk dan ibu membawa kamu pulang. Demi kamu Din, ibu rela berjualan, berpanas-panasan untuk membiayai sekolah kamu. Tapi kamu malah seperti ini. Apa kamu akan membuat malu ibu? jawab?!”
Tidak ada sepatah kata pun yang keliar dari mulut Dini. Diam, membisu ia terus terpaku di meja makan.
“Kalau kamu bertanya makanan, ambil saja di jalan serut.” kata wanita itu lalu pergi dari hadapan Dini. Perasaan wanita itu masih kecewa atas sikap anaknya yang berubah drastis dan luka seorang wanita sangat sulit untuk disembuhkan.
Seminggu kemudian setelah kejadian itu, Dini kabur dari rumah. Ibunya yang sangat penyanyang dibuatnya menderita. Ia mencari-cari sampai bertanya ke teman-teman sekolahnya, namun jawabannya nihil. Ada yang bilang bahwa Dini sudah seminggu dikeluarkan dari sekolahnya, alasannya karena ketahuan mabuk dan statusnya masih pelajar. Seketika wanita itu shock. Lemas, dan seluruh aliran darah serasa berhenti semua.
Akhirnya ia jatuh sakit akibat memikirkan anak sulungnya itu. Tapi dengan setia Nia merawat ibunya hingga sembuh.
Dua minggu berlalu sudah. Pagi hari sebuah sepeda motor merah berhenti tepat di depan rumahnya. Seorang pemuda mengetuk pintu rumah wanita itu. Nia cepat-cepat membukakannya.
“Permisi. Apa benar ini rumah Dini?”
“Iya benar, anda siapa?” tanya Nia sedikit heran.
“Saya teman Dini. Apa ibunya ada di rumah?”
Lalu Nia mempersilahkan masuk dan memanggil ibunya yang ada di kamar. Wanita itu keluar bersama Nia dan duduk di kursi depan pemuda itu duduk.
“Begini bu, maksud saya datang kesini saya mau melamar anak ibu, Dini. Dia sudah dua minggu menginap di tempat saya, sementara saya sudah punya anak istri. Dan saya ingin menjadikan Dini istri kedua saya.”
“Astaghfirullah,” kata ibu dan mengelus dada. Nia juga ikut kaget mendengarnya. Airmata itu tiba-tiba menetes di wajah keriput wanita setengah baya. Dengan suara yang sedikit serak akibat nangis, wanita itu angkat suara juga.
“Maaf mas, saya tidak merestuinya. Saya tidak mau anak saya akan dijadikan istri ke dua. Bagaimana dengan perasaan istri pertama mas jika dimadu? Maaf saya tidak merestuinya.” Ibu langsung masuk ke kamar dan pemuda itu langsung pulang.
Di dalam kamar yang tak sebesar kamar hotel itu, wanita itu hanya memanggil nama anaknya, Dini. Setiap hari ia selalu memanggil namnya, hingga ia jatuh sakit. Ia tidak mau makan dan hanya ingin bertemu dengan Dini. Sementara sampai saat ini Dini belum pulang juga.
Waktu masih setia menemani wanita itu dalam sebuah penantian. Ya penantian atas kedatangan anak sulungnya itu.
Sebulan telah berlalu dan wanita itu hanya menikmati hari-harinya di tempat tidur. Bada isya, seseorang mengetuk pintu rumahnya. Nia segera membukakan pintu. Dia dikejutkan oleh mbak nya yang baru datang, Dini. Ia langsung memeluk mbaknya dengan tangisan yang menderai, begitu juga dengan Dini. Nia langsung membawa Dini masuk ke kamar ibunya. Setiba di kamar ibunya, airmatanya tidak dapat dibendung ketika melihat ibunya lemah tidak berdaya. Dini langsung memeluk ibunya dengan erat.
“Bu, maafin Dini yang selama ini selalu membuat ibu menderita. Dini sudah durhaka sama ibu. Dini selalu membuat kecewa sama ibu. Dini minta maaf bu.”
Wanita itu terbangun dan menyandarkan tubuhnya di tembok yang dibantu oleh Dini.
“Sudahlah Din, Ibu sudah memaafkanmu. Ibu juga minta maaf atas salah ibu selama ini. Yang kurang mendidik kamu dan perhatian padamu.”
“Ibu tidak salah. Yang salah itu Dini. Dini janji, Dini akan menjadi anak yang soleha buat ibu dan Nia. Dini juga akan menurut sama perintah ibu, Maafin Dini bu”
Dini langsung memeluk tubuh ibunya bersama adiknya, Nia. Tangisan itu memecahkan kesunyian malam. Dan penantian selama ini yang ditunggu wanita itu akhirnya menjadi kenyataan.
“Ibu, kau adalah syurga nyata bagiku.” kata Dini lirih sambil mencium kening ibunya.

Mawar

 Mawar
Karangan : Alfiana Rosya

Aku terlahir di keluarga yang berkecukupan. Ayah dan ibu ku mengenyam pendidikan yang cukup tinggi. Mereka sama-sama sarjana. Waktu aku belum lahir tepatnya tahun 1995, ayahku menjadi Kepala Sekolah di salah satu sekolah swasta di daerah Jakarta Timur. Kehidupan ayah dan bunda ku semakin berwarna, karena lahirnya seorang putri yang sudah lama sekali mereka dambakan. MAWAR, sebuah nama sederhana yang memiliki seribu makna. Itulah nama yang diberikan orangtua ku kepada ku.
Di usia ku yang ke 2 tahun ujian menghampiri keluarga ku. Ayah ku divonis terkena penyakit yang cukup parah. Menurut bahasa kedokteran, ayah ku mengidap penyakit Herniated Nucleus Pulposus (syaraf kejepit). Ayahku harus dirawat di Rumah Sakit dan masuk ruang ICU. Karena biaya Rumah Sakit yang amat mahal, bunda ku harus banting tulang mencari uang untuk biaya pengobatan ayah. Uang tabungan yang selama ini mereka sisihkan habis seketika untuk membiayai pengobatan ayah ku. Hanya rumah sederhana saja yang tersisa.
Aku dititipkan di rumah kakek ku. Adik-adik bunda ku lah yang merawat dan mengasuh ku, karena bunda harus terus berada di Rumah Sakit untuk mengurus dan menjaga ayah ku. 3 hari sekali bunda pulang ke rumah kakek untuk sekedar melepaskan kerinduannya pada ku. Bunda tidak bisa menemani ku setiap hari, karena jarak yang cukup jauh antara rumah kakek ku di Bogor dengan Rumah Sakit tempat ayah ku dirawat.
Dokter memperkirakan umur ayah ku hanya tinggal 3 – 4 bulan lagi. Tapi bunda ku tidak putus asa. Bunda terus berjuang dan selalu berdo’a untuk kesembuhan ayah ku. Berkat do’a, kesabaran, ketekunan, perjuangan, serta keikhlasan bunda ku, akhirnya ayah bangun dari koma. Ayah ku bisa sembuh normal dan bisa beraktivitas kembali seperti sedia kala. Aku percaya dibalik kesulitan, pasti akan ada kemudahan. Dan dibalik kesedihan, pasti akan datang kebahagiaan.
Secara berangsur-angsur kehidupan keluarga kami mulai membaik. Pada saat aku berusia 8 tahun, ayah ku mendapatkan beasiswa di Universitas Negeri Malang. Ayah memboyong aku dan bunda untuk tinggal di Malang. Ayah membeli sebuah rumah sederhana di dekat kampus nya. Walaupun rumah yang kami tempati sederhana, asalkan kami bersama-sama aku sangat bahagia. Di Malang aku mempunyai banyak sahabat. Ada Adin, Febri, Rizky, Kak Nisa dan Putry.
Waktu sangat cepat berlalu. Tidak kerasa tugas belajar ayah ku di kota Malang sudah berakhir. 2 tahun sudah aku bersahabat dengan mereka. Aku sangat senang karena mempunyai sahabat sebaik mereka. Tapi semua kebahagiaan itu harus aku tinggalkan. Aku harus kembali ke Jakarta. Ku tinggalkan kota Malang dengan rasa berat hati.
4 tahun berlalu. Pada saat usia ku 12 tahun. Dokter memvonis aku mengidap penyakit yang cukup parah. Aku sempat sedih, karena menurut dokter penyakit ku ini merupakan salah satu penyakit yang sangat membahayakan. Tapi bunda ku terus berusaha untuk menguatkan ku. Bunda merupakan penyemangat dan sumber kekuatan bagi ku. Bunda merawat, mengasuh, dan membimbing aku dengan kasih sayangnya yang begitu tulus dan amat besar.
14 tahun usia ku kini. Aku akan terus berjuang, berusaha, dan bekerja keras agar aku bisa memberikan yang terbaik untuk ayah dan bunda. Aku juga tidak akan pernah letih berdo’a agar ALLAH memberikan umur yang panjang pada orangtua ku, agar aku bisa memberangkatkan mereka ke tanah suci untuk menjalankan ibadah haji dengan uang hasil keringat ku sendiri.
Aku belajar dari hidup. Di dunia ini ada kesulitan, akan tetapi ada pula kemudahan. Ada penderitaan, ada pula kebahagiaan. Mungkin dokter bisa memperkirakan umur seseorang. Akan tetapi hanya ALLAH yang dapat menentukan jodoh, umur dan rizky seseorang.
Pesan yang selalu aku ingat dari bunda. “Hidup di dunia taat dan bersungguh-sungguh mendapat SURGA. Sedangkan hidup di dunia berleha-leha dan berbuat maksiat masuk NERAKA”.
Ku tekatkan diri ku untuk taat dan bersungguh-sungguh agar aku bisa bahagia di dunia maupun di akhirat nanti. Dan aku akan berjuang keras untuk menggapai cita-cita dan apa yang aku inginkan AGAR AKU BISA MEMBAHAGIAKAN ORANG-ORANG YANG AKU SAYANGI.

Tulisan dibalik sepotong ubin



Tulisan dibalik sepotong ubin

“Hidup ini ibarat labirin yang hanya mempunyai dua pintu, pintu masuk dan pintu keluar. Ketika telah masuk maka akan ada simpangan berliku yang harus dihadapi walau tanpa seteguk kopi”
Aku mendengus pelan memperhatikan setiap jentik tulisan yang ku buat berulang kali.
“ah kalau begini ceritanya bagaimana kau bisa menjadi penulis sejati?” berucap monolog
“huh sudah lah sudah larut malam, lebih baik aku menulis di dalam mimpiku saja” ucapku mengakhiri pembicaraan kepada diriku sendiri.
Pagi itu adalah selasa dengan cinta, di saat semalam aku benar-benar frustasi dengan hidup yang mengecewakan. Terlebih dengan kenyataan bahwa aku tak pernah mengerti tentang trigonometri atau laju reaksi. Aku juga tak ahli dalam biologi bahkan seni musik pun tak pernah ku ilhami.
Setelah sekian lama berargumen dengan diriku sendiri, akhrinya aku memutuskan untuk bergegas ke sekolah lebih awal. Untung saja jarak sekolah dan rumahku terlampau dekat, hanya butuh 10 menit untuk berjalan kaki.
“Kota medan kali ini benar-benar tumpah dengan desakan air, november yang menutup mentari” ucap seseorang yang mendahuluiku
Aku melihatnya sekilas, dan kemudian tak ku sangka dia adalah yugo. Yugo? Benarkah? Mimpi apa aku semalam?
aku tak berani menatap, hanya bisa tersenyum tak terungkap. dia meninggalkan ku lagi – berulang kali.
Setelah sampai di kelas, segalanya lebih berbeda. Tidak ada ku lihat percikan air yang menggenang. Suasana tak terkendali, mereka panik. Sementara aku meneguk kopi yang dibungkus dalam botol minumku dengan santai. Suma melihatku sekilas
“sudah siap fisika, ulna?” tanyanya dengan rancu
Aku masih saja melamunkan hujan tadi, hujan yang mempertemukanku dengan yugo
“u-l-n-a? Kau tak mendengarkan ku ya?” ucapnya memaksimalkan tekanan suara
“ah yaa. Aku mendengar perkataanmu, coba ulangi sekali lagi? Hehe” ucapku
“itu sama saja, kau tidak mendengarkan ku. KAU SUDAH SIAP FISIKA, ULNA?” sumi bertanya dengan wajah datar
Aku langsung meninggalkan sumi dan mencari buku fisika ku, alhasil tak ada goresan tinta yang ku buat sedikitpun. Aku mencoba untuk mencari jalan keluar dari persoalan fisika yang benar-benar membawaku ke dunia fantasi blantara. Seakan aku tercabik-cabik dalam hitungan detik, dalam dekap sang raja rimba atau bahkan Crocodylus porosus. Aku benar-benar tak mengerti. Untung saja ada sumi beserta jawaban fisika sumi yang terbungkus dalam cover buku minimous yang lucu.
Tik-tok-tik-tok tak ku sangka pak burhan datang dengan segala pesona, mereka langsung diam seribu bahasa, begitu juga denganku. Aku tak bisa berkutik sedikitpun. Aku~ selalu kalah dalam materi pembelajaran ini. aku selalu terasingkan. aku~ aku~ aku~
Jam berotasi dengan segala himpunan detik. Waktu berputar tanpa arti, aku sudah bosan mendengar cerita pak burhan. Kopi yang dibuat ibuku telah dingin, tak ada pasokan energi lagi untuk meminum kopi itu. aku mendengus nafas secara perlahan kemudian bunyi bell mengambang di permukaan. Itu bell istirahat kesukaanku
Aku melanjutkan tepak langkah berikutnya, menuju kantin idaman setiap pelajar. Membeli secangkir kopi. Kemudian merasakan canda-tawa teman-temanku. Namun bagian terfavorit adalah melihat senyum yugo. Yugo ada di sana. Di ujung bangku sebelah meja merah.
Aku selalu malu-malu dalam desakan yang temaram, aku tak mengerti tentang segala sanubari. Dahulu, yugo yang memulainya dengan memanggilku “si wajah oriental” dia bilang aku seperti putri malu. Jika disentuh sedikit saja langsung menguncup! Huh menyebalkan.
Waktu tak pernah berhenti dalam aksinya. Dia selalu saja mendahuluiku. Kopiku juga sudah dingin, dan yugo juga sudah meninggalkan ku. Berulang kali meninggalkanku. Sumi mengajakku untuk masuk dan meinggalkan gemuruh kantin. Namun batinku berkata untuk tetap tinggal di kantin. Dan nyatanya sumi berjalan ke kelas tanpa aku.
Di tengah perjalanan di lorong taman sekolah, aku melihat sepotong ubin terepecah belah. Aku mencatat dalam buku labirin merah jambuku
“sungguh kasihan ubin itu. di saat seluruh ubin terlihat luarbiasa, hanya sepotong ubin itu yang terpuruk dalam nasibnya. Kisahnya hampir sama denganku, namun nasibku tidak seburuk itu”
Setelah memperhatikan dengan seksama. Aku agak menggeser ubin itu ke tempat semula, agar sepotong ubin tersebut tidak sendirian, tidak kesepian.
Lantas terjajar sebuah kertas buram berwarna kuning dengan segala tulisan yang menghentak
Lembar pertama:
“Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena di dalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil”
Lembar kedua:
“jika memang hal itu diperlukan, maka beranikanlah diri anda untuk melakukannya.”
Lembar ketiga :
“peluang emas selalu berada satu langkah dari anda. Yang anda butuhkan adalah keberanian untuk melangkahkan kaki pertama”
Dan lembar terakhir :
“semua karya besar, diawali dengan keberanian untuk membuatnya.”
Aku mencerna hal-hal tersebut. Kemudian inisiatifku memintanya untuk menyimpan tulisan-tulisan itu. Aku berjalan menjauhi ubin itu, semakin jauh dan jauh. Hingga sumi menemukan ku dan bertanya mengapa jalanku terseok-seok seperti seorang mafia yang diselidiki polisi.
Aku terdiam seribu kata, tanpa jeda tanpa suara hanya udara yang terdengar. Tiga detik kemudian, aku menceritakannya kepada sumi. Dan sumi tak mau menanggapi, mungkin hanya aku saja yang termotivasi atau aku yang melebihkan arti? Entahlah aku juga tak mengerti.
Siang itu juga ketika sumi dan seluruh isi sekolah meninggalkanku. Aku masih saja menepaki sekolahku. Melihat yugo di tengah-tengah desakan pelajar yang merindukan rumah mereka. Aku memandangnya dari jauh.
“jika memang hal itu diperlukan, maka beranikanlah diri anda untuk melakukannya.”
Tiba-tiba saja tulisan tersebut muncul di lorong pemikiran, yugo juga melihatku. Aku memberanikan diri untuk tersenyum. Yugo menghampiriku dengan perawakan langkahnya yang panjang,
aku tak bisa bernafas, segalanya menjadi terdesak. Sungguh sesak sekali
“ulna kan? Yang rumahnya di kompleks utara?” yugo bertanya memastikan
“eh iya? Kok tau?” aku menjawabnya tanpa sengaja
“kita kan satu kompleks?” yugo menjawabnya juga dengan heran
Setelah heran dan heran menyatu, akhirnya kami tertawa berasamaan. Yugo menemaniku dalam perjalanan pulangku. Aku sungguh bahagia kala itu, yang terpenting karena tulisan di balik ubin itu aku jadi mengetahui ternyata yugo satu kompleks denganku.
Keesokan paginya ketika aku yang telah siap menerima pelajaran pak basuki tentang laju reaksi, suma menghampiri ku lagi
“ulna, ada apa gerangan? Mengapa kau terlihat anteng begini? Seperti bukan dirimu saja” tanya suma dengan heran
“sudahlah jangan terlalu kau fikirkan tentang aku, jalani saja hidupmu” jawabku sambil tertawa
Selepas dari pembicaraan itu, suara pak basuki yang berat menghentikan pembicaraan kami, dia menulis soal laju reaksi di papan tulis putih.
“ada yang bisa menjawab” tanyanya dengan sangat serius
Tak ada yang berani menjawab. Semuanya terkena (bahasa latin dari bisu), termasuk aku juga.
Lagi-lagi fikiranku masih saja menerawang tulisan ubin yang lampau
“Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena di dalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil”

Sabtu, 27 September 2014

Surga di Bawah Telapak Kaki ibu, Apakah Masih Berlaku ?


 Surga di Bawah Telapak Kaki ibu, Apakah Masih Berlaku ?

“Kasih ibu.. kepada beta tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya meyinari dunia” Terdengar lantunan lagu yang berkali-kali berputar di televisi, tepat karena hari ini adalah hari Ibu. Ketika lantunan lagu itu terdengar, perasaanku campur aduk antara kesal juga sedih.
Lagu itu membuatku bertanya, “kasih yang mana dan seperti apa yang ibu berikan kepada beta seperti lagu itu? Yang tidak terhingga sepanjang masa?” mataku mulai berkaca-kaca lambat laun cairan bening pun menetes dari mataku.
Singkat cerita, Ayah dan Ibuku bercerai sejak umurku menginjak di usia ke-4. Aku gak tau apa penyebab perceraian mereka. Tapi nenekku sempat berdongeng mereka bercerai setelah pertengkaran hebat, pertengkaran itu bukan tanpa alasan, perselingkuhan Mama lah yang menjadi penyebabnya.
Masih terngiang di benakku ketika aku berada di ruang yang luas berisi bangku berjajaran dan dipenuhin banyak orang, nenekku bilang itu Ruang Sidang. sempat ada kalimat yang tidak akan pernah aku lupakan yang diucapkan oleh bapak Hakim di sidang itu “Kamu mau ikut mana? Mama atau Papa?”.
Dan disitulah aku terharu pada Papa seperti sang ‘superior’. Berjuang demi mempertahankan hak asuh anak, walau akhirnya aku tinggal dan diasuh oleh nenekku.
Hari demi Hari, bulan demi bulan, waktu pun berlalu. Aku mendengar kabar Mamah telah menikah lagi, karena sejak saat itu aku belum mengerti apa itu pernikahan aku cuek saja merasakannya.
Puncaknya, ketika Aku duduk di Bangku sekolah dasar. Sekolah mengadakan acara perlombaan demi memperingati hari Ibu. Tiap murid diwajibkan untuk datang bersama ibunya. Dari situlah aku merenung, hati kecilku terguncang dimanakah mamah berada. Kanan kiri aku menengok teman-teman sekolahku bermanja canda dengan ibunya masing-masing.
Mentalku semakin terpuruk ketika Papah meminta ijin padaku untuk menikah lagi, aku pun hanya meng-iya kan saja karena aku gak ngerti apa apa. Sikap ‘superior’ Papa telah luntur, kasih sayang Papa yang aku rasain sejuk banget saat dulu kala sudah enggak terasa lagi. Terlihat sejak Punya istri baru dan anaknya yang baru.
Tak hanya Papah, sama halnya Mama pun begitu. Bahkan suatu ketika aku menginap di rumah Mamah ada kejadian yang menurutkku tidak masuk akal, pagi-pagi aku baru terbangun dari tidur Mamah memanggilku dan bertanya seperti orang serius “Kamu kenapa berani mengambil uang di dalem lemari?” aku terheran dan berbalik tanya “loh? aku kan baru bangun tidur, kapan aku mengambil?” Sedangkan saat itu adalah hari pertama kalinya aku menginap di rumah mamah, bahkan aku pun tidak tau dimana letaknya lemari tersebut.
Ketika Mamah sedang memarahiku, mencetus lah si Papah tiri ini mengoceh “kalau lu anak gue, udah gue tampar lu! gue kalo berantem sama anak ya berantem beneran, masih untung lu bukan kandung gue jadi tanggung”. Dalam hati aku menjawab “gileee, pedes banget tuh mulut”
Setelah kejadian itu pun aku pergi tanpa pamit kepada Mamah, terus terang semenjak kejadian itu aku semakin benci sama Mamah. Hanya karena uang satu juta Mamah tega menepis anak kandungnya sendiri. Bahkan mungkin sakit hatikku ini enggak akan bisa terobati oleh berbagai macam ramuan obat apapun.
Konflik di dalam rumah membuatku brutal di jalanan. Berkali-kali aku Drop Out dari sekolah akibat ulahku yang labil. Tawuran menjadi santapan aku sehari-hari. itulah penyebab mengapa aku sampai 4 kali berganti-ganti sekolah.
Walaupun pak Ustadz pernah bilang “Surga itu adanya di bawah telapak kaki Ibu”. Tapi aku masih meragukan ucapan pak ustadz tersebut.
Aku berhak bertanya Ibu seperti apakah yang harus diyakini keberadaan surganya, apakah ibu yang menelantarkan anaknya sejak kecil bahkan sempat memfitnah dan lebih memilih suaminya itu termasuk kategori ‘ibu-ibu sang pembawa surga?’. Aku tidak pernah dendam pada Ibu, karena aku Lahir dari rahimnya, aku hanya mengingatkan bahwa suatu saat sang Ibu akan menjumpai ajalnya sudahkah ia menjadi manusia yang khusnul khotimah?. Kembalilah pada anakmu, karena anak adalah titipan dari Tuhan yang harus orangtua jaga dan asuh dengan semestinya.
Jadi.. Surga di bawah telapak kaki Ibu, apakah masih berlaku untukku..

Cerpen Karangan: Fariz Ghifari