Tulisan
dibalik sepotong ubin
“Hidup ini ibarat labirin yang hanya mempunyai dua pintu, pintu masuk dan
pintu keluar. Ketika telah masuk maka akan ada simpangan berliku yang harus
dihadapi walau tanpa seteguk kopi”
Aku mendengus pelan memperhatikan setiap jentik tulisan yang ku buat berulang
kali.
“ah kalau begini ceritanya bagaimana kau bisa menjadi penulis sejati?”
berucap monolog
“huh sudah lah sudah larut malam, lebih baik aku menulis di dalam mimpiku saja”
ucapku mengakhiri pembicaraan kepada diriku sendiri.
Pagi itu adalah selasa dengan cinta, di saat semalam aku benar-benar frustasi
dengan hidup yang mengecewakan. Terlebih dengan kenyataan bahwa aku tak pernah
mengerti tentang trigonometri atau laju reaksi. Aku juga tak ahli dalam biologi
bahkan seni musik pun tak pernah ku ilhami.
Setelah sekian lama berargumen dengan diriku sendiri, akhrinya aku
memutuskan untuk bergegas ke sekolah lebih awal. Untung saja jarak sekolah dan
rumahku terlampau dekat, hanya butuh 10 menit untuk berjalan kaki.
“Kota medan kali ini benar-benar tumpah dengan desakan air, november yang
menutup mentari” ucap seseorang yang mendahuluiku
Aku melihatnya sekilas, dan kemudian tak ku sangka dia adalah yugo. Yugo?
Benarkah? Mimpi apa aku semalam?
aku tak berani menatap, hanya bisa tersenyum tak terungkap. dia meninggalkan ku
lagi – berulang kali.
Setelah sampai di kelas, segalanya lebih berbeda. Tidak ada ku lihat
percikan air yang menggenang. Suasana tak terkendali, mereka panik. Sementara
aku meneguk kopi yang dibungkus dalam botol minumku dengan santai. Suma
melihatku sekilas
“sudah siap fisika, ulna?” tanyanya dengan rancu
Aku masih saja melamunkan hujan tadi, hujan yang mempertemukanku dengan yugo
“u-l-n-a? Kau tak mendengarkan ku ya?” ucapnya memaksimalkan tekanan suara
“ah yaa. Aku mendengar perkataanmu, coba ulangi sekali lagi? Hehe” ucapku
“itu sama saja, kau tidak mendengarkan ku. KAU SUDAH SIAP FISIKA, ULNA?” sumi
bertanya dengan wajah datar
Aku langsung meninggalkan sumi dan mencari buku fisika ku, alhasil tak ada
goresan tinta yang ku buat sedikitpun. Aku mencoba untuk mencari jalan keluar
dari persoalan fisika yang benar-benar membawaku ke dunia fantasi blantara.
Seakan aku tercabik-cabik dalam hitungan detik, dalam dekap sang raja rimba
atau bahkan Crocodylus porosus. Aku benar-benar tak mengerti. Untung saja ada
sumi beserta jawaban fisika sumi yang terbungkus dalam cover buku minimous yang
lucu.
Tik-tok-tik-tok tak ku sangka pak burhan datang dengan segala pesona, mereka
langsung diam seribu bahasa, begitu juga denganku. Aku tak bisa berkutik
sedikitpun. Aku~ selalu kalah dalam materi pembelajaran ini. aku selalu
terasingkan. aku~ aku~ aku~
Jam berotasi dengan segala himpunan detik. Waktu berputar tanpa arti, aku
sudah bosan mendengar cerita pak burhan. Kopi yang dibuat ibuku telah dingin,
tak ada pasokan energi lagi untuk meminum kopi itu. aku mendengus nafas secara
perlahan kemudian bunyi bell mengambang di permukaan. Itu bell istirahat
kesukaanku
Aku melanjutkan tepak langkah berikutnya, menuju kantin idaman setiap
pelajar. Membeli secangkir kopi. Kemudian merasakan canda-tawa teman-temanku.
Namun bagian terfavorit adalah melihat senyum yugo. Yugo ada di sana. Di ujung
bangku sebelah meja merah.
Aku selalu malu-malu dalam desakan yang temaram, aku tak mengerti tentang
segala sanubari. Dahulu, yugo yang memulainya dengan memanggilku “si wajah
oriental” dia bilang aku seperti putri malu. Jika disentuh sedikit saja
langsung menguncup! Huh menyebalkan.
Waktu tak pernah berhenti dalam aksinya. Dia selalu saja mendahuluiku.
Kopiku juga sudah dingin, dan yugo juga sudah meninggalkan ku. Berulang kali
meninggalkanku. Sumi mengajakku untuk masuk dan meinggalkan gemuruh kantin.
Namun batinku berkata untuk tetap tinggal di kantin. Dan nyatanya sumi berjalan
ke kelas tanpa aku.
Di tengah perjalanan di lorong taman sekolah, aku melihat sepotong ubin
terepecah belah. Aku mencatat dalam buku labirin merah jambuku
“sungguh kasihan ubin itu. di saat seluruh ubin terlihat luarbiasa, hanya
sepotong ubin itu yang terpuruk dalam nasibnya. Kisahnya hampir sama denganku,
namun nasibku tidak seburuk itu”
Setelah memperhatikan dengan seksama. Aku agak menggeser ubin itu ke tempat
semula, agar sepotong ubin tersebut tidak sendirian, tidak kesepian.
Lantas terjajar sebuah kertas buram berwarna kuning dengan segala tulisan
yang menghentak
Lembar pertama:
“Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena di
dalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk
berhasil”
Lembar kedua:
“jika memang hal itu diperlukan, maka beranikanlah diri anda untuk
melakukannya.”
Lembar ketiga :
“peluang emas selalu berada satu langkah dari anda. Yang anda butuhkan adalah
keberanian untuk melangkahkan kaki pertama”
Dan lembar terakhir :
“semua karya besar, diawali dengan keberanian untuk membuatnya.”
Aku mencerna hal-hal tersebut. Kemudian inisiatifku memintanya untuk
menyimpan tulisan-tulisan itu. Aku berjalan menjauhi ubin itu, semakin jauh dan
jauh. Hingga sumi menemukan ku dan bertanya mengapa jalanku terseok-seok
seperti seorang mafia yang diselidiki polisi.
Aku terdiam seribu kata, tanpa jeda tanpa suara hanya udara yang terdengar.
Tiga detik kemudian, aku menceritakannya kepada sumi. Dan sumi tak mau
menanggapi, mungkin hanya aku saja yang termotivasi atau aku yang melebihkan
arti? Entahlah aku juga tak mengerti.
Siang itu juga ketika sumi dan seluruh isi sekolah meninggalkanku. Aku masih
saja menepaki sekolahku. Melihat yugo di tengah-tengah desakan pelajar yang
merindukan rumah mereka. Aku memandangnya dari jauh.
“jika memang hal itu diperlukan, maka beranikanlah diri anda untuk
melakukannya.”
Tiba-tiba saja tulisan tersebut muncul di lorong pemikiran, yugo juga
melihatku. Aku memberanikan diri untuk tersenyum. Yugo menghampiriku dengan
perawakan langkahnya yang panjang,
aku tak bisa bernafas, segalanya menjadi terdesak. Sungguh sesak sekali
“ulna kan? Yang rumahnya di kompleks utara?” yugo bertanya memastikan
“eh iya? Kok tau?” aku menjawabnya tanpa sengaja
“kita kan satu kompleks?” yugo menjawabnya juga dengan heran
Setelah heran dan heran menyatu, akhirnya kami tertawa berasamaan. Yugo
menemaniku dalam perjalanan pulangku. Aku sungguh bahagia kala itu, yang
terpenting karena tulisan di balik ubin itu aku jadi mengetahui ternyata yugo
satu kompleks denganku.
Keesokan paginya ketika aku yang telah siap menerima pelajaran pak basuki
tentang laju reaksi, suma menghampiri ku lagi
“ulna, ada apa gerangan? Mengapa kau terlihat anteng begini? Seperti bukan
dirimu saja” tanya suma dengan heran
“sudahlah jangan terlalu kau fikirkan tentang aku, jalani saja hidupmu” jawabku
sambil tertawa
Selepas dari pembicaraan itu, suara pak basuki yang berat menghentikan
pembicaraan kami, dia menulis soal laju reaksi di papan tulis putih.
“ada yang bisa menjawab” tanyanya dengan sangat serius
Tak ada yang berani menjawab. Semuanya terkena (bahasa latin dari bisu),
termasuk aku juga.
Lagi-lagi fikiranku masih saja menerawang tulisan ubin yang lampau
“Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena di
dalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk
berhasil”