Minggu, 28 September 2014

Ibu, Syurga Nyata Bagiku

Di sudut kamar bada maghrib, seorang wanita setengah baya duduk meyendiri setelah shalat maghrib. Pandangannya kosong menerawang jauh kedepan. Berat. Sepertinya ia memikirkan beban yang sangat berat. Ia hanya mengelus dadanya dan sesekali dengan lirih mengucap istighfar. Dilihatnya jam dinding tua yang menggantung di ruang tamu. Tak lama kemudian ada seseorang mengetuk pintu. Ia cepat-cepat membukakannya.
“Darimana saja kamu Din?” suaranya yang penyabar.
“Main.” jawab Dini ketus. Dini adalah anak sulung dari dua bersaudara. Adiknya Nia masih duduk di bangku Smp. Ia sangat nurut dengan ibunya, beda dengan kakaknya, Dini. Ia sangat berubah setelah ditinggal ayahnya beberapa tahun lalu yang menikah dengan perempuan lain.
Tanpa menggubris ibunya, Dini langsung masuk ke kamarnya. Ibunya hanya sesekali mengelus dada melihat tingkah laku anaknya yang semakin brutal ini. Ia hanya mampu mengadu pada selembar sajadah yang diiringi dengan doa-doa nya.
Pagi hari Dini cepat-cepat langsung berangkat sekolah. Tanpa ia sarapan, tanpa ia pamit, ia langsung menyambar sepeda motor yang terpakir di samping rumahnya.
“Din, ndak sarapan dulu nduk?” kata ibunya, namun ia sudah langsung pergi. Ibunya hanya diam dan mempersiapkan peralatan anak sulungnya, Nia. Setelah itu ia mengemasi barang dagangannya yang akan dijual. Ia seorang penjual gorengan dan menjajakannya keliling dari rumah ke rumah. Demi bisa menyekolahkan kedua anaknya ia rela harus membanting tulang dan harus bekerja keras. Sejak suaminya menikah dengan perempuan lain, dan lepas tanggung jawabnya, ia memulai hidupnya dengan menjual gorengan. Terkadang bada dzuhur ia baru pulang bekerja. Setiba di rumah ia langsung menyiapkan makanan buat kedua anaknya.
Siang hari di meja makan yang sederhana, Ibu, Dini dan adiknya Nia makan bersama.
“Bu, sesekali makan laut ikan apa. Ndak tahu tempe aja.” gerutu Dini di meja makan.
“Habiskan dulu makananmu” jawab ibunya.
“Ah, ibu selalu saja begitu.” kata Dini lalu meninggalkan meja makan tanpa menghabiskan sisa makanannya. Ibunya hanya mengeleng-geleng kepala. Selesai makan, Nia ikut membereskan meja makan dan selalu membantu ibunya.
Bada maghrib, Dini bersiap-siap untuk keluar. Ibunya menghampiri yang masih dandan depan kaca.
“Mau kemana lagi Din?” kata ibunya yang terus memperhatikan anak sulungnya.
“Mau ke rumah teman” kata Dini yang masih sibuk dengan dirinya.
“Pulangnya jangan malam-malam nduk”
Namun Dini masih diam dan cepat-cepat pamitan keluar.
Denting waktu berputar dengan pelan namun pasti. Dilihatnya jam dinding tua yang menggantung di ruang tamu. Jarum sudah menunjukkan pukul 20, namun Dini belum pulang juga. Semakin ditunggu, semakin belum pulang. Ia mulai cemas dengan Dini yang belum pulang juga.
“Ni, mbakmu belum pulang juga.” tanyanya pada Nia, adik Dini.
“Ndak tahu bu. Mungkin masih ada urusan”
Kebimbangan masih menyelimuti hati wanita itu. Putaran waktu tiada pernah berhenti. Ditunggu-tunggu sampai pukul 22 malam belum pulang juga, sementara Nia sudah tertidur lelap di kamarnya. Menunggu yang tiada pasti membuat wanita itu tertidur di ruang tamu.
Tengah malm pukul 01, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Ibu itu langsung bangun dan cepat-cepat membukakan pintu.
“Selamat malam bu, apa ini rumahnya Dini?” Suara pemuda yang seumuran Dini.
“Iya.”
“Anak ibu Dini tengah mabuk di jalan serut bersama teman-temannya. Mari buk saya antar untuk jemput anak ibu.”
Seperti disambar petir tanpa hujan. Sekejap wanita itu langsung berangkat bersama pemuda itu.
Benar, ditemuinya anak sulungnya yang mabuk di jalan serut. Itu adalah tempat yang biasa buat balapan sepeda motor. Dengan perasaan kecewa, perih, dan prihatin ia membawa pulang Dini.
Mentari menyelinap di balik jendela kamar Dini. Membuat Dini terbangun dari tempat tidurnya. Ia langsung menuju kamar mandi, setelah selesai ia pergi ke meja makan. Ia berharap akan ada makanan yang tersedia di meja itu. Sayang, setelah dibukanya tudung saji ternyata kosong.
“Bu. Mana makanannya?.” kata Dini sedikit keras. Ibunya keluar dari dapur dan menghampirinya.
“Kamu sudah membuat ibu kecewa sama kamu Din. Ibu benar-benar tidak menyangka kamu akan setega ini sama ibu. Semalam kamu mabuk dan ibu membawa kamu pulang. Demi kamu Din, ibu rela berjualan, berpanas-panasan untuk membiayai sekolah kamu. Tapi kamu malah seperti ini. Apa kamu akan membuat malu ibu? jawab?!”
Tidak ada sepatah kata pun yang keliar dari mulut Dini. Diam, membisu ia terus terpaku di meja makan.
“Kalau kamu bertanya makanan, ambil saja di jalan serut.” kata wanita itu lalu pergi dari hadapan Dini. Perasaan wanita itu masih kecewa atas sikap anaknya yang berubah drastis dan luka seorang wanita sangat sulit untuk disembuhkan.
Seminggu kemudian setelah kejadian itu, Dini kabur dari rumah. Ibunya yang sangat penyanyang dibuatnya menderita. Ia mencari-cari sampai bertanya ke teman-teman sekolahnya, namun jawabannya nihil. Ada yang bilang bahwa Dini sudah seminggu dikeluarkan dari sekolahnya, alasannya karena ketahuan mabuk dan statusnya masih pelajar. Seketika wanita itu shock. Lemas, dan seluruh aliran darah serasa berhenti semua.
Akhirnya ia jatuh sakit akibat memikirkan anak sulungnya itu. Tapi dengan setia Nia merawat ibunya hingga sembuh.
Dua minggu berlalu sudah. Pagi hari sebuah sepeda motor merah berhenti tepat di depan rumahnya. Seorang pemuda mengetuk pintu rumah wanita itu. Nia cepat-cepat membukakannya.
“Permisi. Apa benar ini rumah Dini?”
“Iya benar, anda siapa?” tanya Nia sedikit heran.
“Saya teman Dini. Apa ibunya ada di rumah?”
Lalu Nia mempersilahkan masuk dan memanggil ibunya yang ada di kamar. Wanita itu keluar bersama Nia dan duduk di kursi depan pemuda itu duduk.
“Begini bu, maksud saya datang kesini saya mau melamar anak ibu, Dini. Dia sudah dua minggu menginap di tempat saya, sementara saya sudah punya anak istri. Dan saya ingin menjadikan Dini istri kedua saya.”
“Astaghfirullah,” kata ibu dan mengelus dada. Nia juga ikut kaget mendengarnya. Airmata itu tiba-tiba menetes di wajah keriput wanita setengah baya. Dengan suara yang sedikit serak akibat nangis, wanita itu angkat suara juga.
“Maaf mas, saya tidak merestuinya. Saya tidak mau anak saya akan dijadikan istri ke dua. Bagaimana dengan perasaan istri pertama mas jika dimadu? Maaf saya tidak merestuinya.” Ibu langsung masuk ke kamar dan pemuda itu langsung pulang.
Di dalam kamar yang tak sebesar kamar hotel itu, wanita itu hanya memanggil nama anaknya, Dini. Setiap hari ia selalu memanggil namnya, hingga ia jatuh sakit. Ia tidak mau makan dan hanya ingin bertemu dengan Dini. Sementara sampai saat ini Dini belum pulang juga.
Waktu masih setia menemani wanita itu dalam sebuah penantian. Ya penantian atas kedatangan anak sulungnya itu.
Sebulan telah berlalu dan wanita itu hanya menikmati hari-harinya di tempat tidur. Bada isya, seseorang mengetuk pintu rumahnya. Nia segera membukakan pintu. Dia dikejutkan oleh mbak nya yang baru datang, Dini. Ia langsung memeluk mbaknya dengan tangisan yang menderai, begitu juga dengan Dini. Nia langsung membawa Dini masuk ke kamar ibunya. Setiba di kamar ibunya, airmatanya tidak dapat dibendung ketika melihat ibunya lemah tidak berdaya. Dini langsung memeluk ibunya dengan erat.
“Bu, maafin Dini yang selama ini selalu membuat ibu menderita. Dini sudah durhaka sama ibu. Dini selalu membuat kecewa sama ibu. Dini minta maaf bu.”
Wanita itu terbangun dan menyandarkan tubuhnya di tembok yang dibantu oleh Dini.
“Sudahlah Din, Ibu sudah memaafkanmu. Ibu juga minta maaf atas salah ibu selama ini. Yang kurang mendidik kamu dan perhatian padamu.”
“Ibu tidak salah. Yang salah itu Dini. Dini janji, Dini akan menjadi anak yang soleha buat ibu dan Nia. Dini juga akan menurut sama perintah ibu, Maafin Dini bu”
Dini langsung memeluk tubuh ibunya bersama adiknya, Nia. Tangisan itu memecahkan kesunyian malam. Dan penantian selama ini yang ditunggu wanita itu akhirnya menjadi kenyataan.
“Ibu, kau adalah syurga nyata bagiku.” kata Dini lirih sambil mencium kening ibunya.

0 komentar:

Posting Komentar