Rabu, 26 November 2014

Puteri Hujan


Siang ini hujan turun dengan derasnya, angin dingin berhembus melalui kisi-kisi jendela kelas, menerpa ganas tubuh murid-murid yang sedang serius memperhatikan soal-soal reaksi redoks yang terpampang di papan tulis. Naomi mendekap erat tubuhnya sambil menatap soal-soal kimia yang ditulis oleh Bu Dina, guru kimianya yang “luar biasa” itu.

Retha, teman sebangkunya, menatap heran gadis itu. “Mi, kok nggak dikerjain sih? Nanti kalau Bu Dina tahu kamu nggak ngerjain sama sekali gimana?”

Naomi melirik ke arah guru yang membelakanginya, “Soal susah kayak gitu siapa juga yang sudi ngerjain.” bisik Naomi perlahan.

“Hei, kalian berdua yang duduk di belakang, jangan ribut saja! Kalau nggak mau ngerjain tugas mendingan keluar saja!” pekik Bu Dina menggemparkan seisi kelas.

“Habis soalnya susah sih Bu!” seru Naomi diiringi pandangan kaget semua teman sekelasnya yang heran dengan perkataan ajaib gadis itu.

“Wah, wah, wah… bagaimana kamu tahu soal itu susah kalau nggak dicoba?! Sekarang lebih baik kamu kerjakan di luar. Saya nggak mau punya murid malas seperti kamu!” perintah Bu Dina keras, sehingga mau tak mau Naomi segera keluar kelas.

“Sudah! Sekarang yang lain selesaikan soal persamaan reaksi di depan!” perintah Bu Dina.

Naomi mendekap erat buku yang ada di tangannya, “Uh, sebel ngapain juga aku ngelawan Bu Dina! Udah di luar dingin lagi.” Naomi duduk di atas kursi batu yang ada di depan kelas sambil memandang hujan yang turun semakin deras. “Wah, Putri udah datang belum ya? Biasanya jam segini dia sudah ada di depan gerbang.” Naomi melihat jarum jamnya yang menunjukkan pukul 13:15.

Seminggu yang lalu Naomi berkenalan dengan Putri, seorang gadis pengojek payung berusia 12 tahun, saat Naomi terlunta-lunta di tengah hujan menunggu supirnya yang tidak kunjung tiba. Mereka saling bercerita mengenai hujan dan apa saja yang menarik.

“Duh enak ya, saya khan tidak bilang kamu boleh cuci mata kemana-mana!” teriakan Bu Dina menghablurkan lamunan Naomi.

“Eh Bu Dina!” Naomi salah tingkah.

“Coba lihat buku latihan kamu!” perintah Bu Dina.

Naomi memberikan buku latihannya, dia khawatir setengah mati karena belum ada tulisan apa pun di buku itu.

Bu Dina tersenyum, “Saya nggak lihat tulisan apa-apa, atau mungkin jawaban kamu sedang main petak umpet ya?!”

“Eng… maaf Bu, saya…” ucap Naomi terbata-bata.

“Oke, saya mau besok pagi sudah ada seratus lembar soal plus jawaban tugas tadi di meja saya!”

“Hah… tapi Bu.”

“Nggak ada tapi-tapian! Sekarang cepat masuk kelas dan pimpin doa!” perintah tegas Bu Dina yang langsung dituruti Naomi.

*****

“Putri! Kamu darimana aja, banyak langganan ya? Saya sudah nungguin kamu dari tadi loh!” seru Naomi di pinggir bale-bale, sementara hujan masih turun.

“Aduh maaf banget ya Mbak, ibu saya sakit, jadi saya…”

Naomi mengerutkan keningnya, “Sakit apa?"

“Nggak apa-apa kok Mbak, ibu cuma masuk angin biasa aja.”

“Hati-hati loh, masuk angin nggak bisa disepelein nanti bisa jadi sakit… sakit…”

“Sakit apa Mbak?” tanya Putri setengah ketakutan.

Naomi meraba keningnya, “Eng… pokoknya gawat deh!” seru Naomi sok tahu.

“Ketahuan nih Mbak nggak pernah dengerin gurunya ngajar ya?” goda Putri.

“Ah enggak juga.” Naomi malu bukan main.

“Mbak harusnya bersyukur loh. Masih banyak anak lain, termasuk saya, yang pengin banget sekolah.” tutur Putri prihatin.

“Iya Non, aku akan lebih rajin belajar lagi. Oh iya, ini ada hadiah buat kamu."

Putri menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya, "Buat saya mbak?" Putri membuka bungkusan itu, "Jaket... aduh ngerepotin segala."

"Udah ambil aja, dengan jaket itu kamu nggak akan kedinginan. Sekarang bagaimana kalau aku anterin kamu pulang, sekalian jenguk ibumu.”

Putri berseru khawatir, “Hah, lebih baik jangan deh.” cegah gadis itu.

“Memangnya kenapa? Udah deh, ayuk!” Naomi menarik tangan mungil Putri dan setengah menyeretnya masuk ke mobil yang dikendarai supirnya.

*****

Rumah Putri sangat mungil sehingga Naomi merasa heran bagaimana ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, dapur, kamar bahkan kamar mandi bisa cukup di dalamnya. Di depan rumahnya ada sejengkal tanah yang penuh ditanami bunga-bunga matahari yang sedang mekar dengan eloknya.

Putri membuka pintu rumahnya, “Silakan masuk, Mbak. Maaf rumah saya kecil.”

Naomi kembali lagi berdecak kagum, rumah Putri memang kecil namun rapi dan bersih. “Wow, rumah kamu bersih sekali! Aku rasa di sini tidak akan ada kecoa, tikus dan binatang menjijikkan lainnya.” puji Naomi.

“Ah, masih kalah sama rumah Mbak Naomi?” sahut Putri merendah.

“Enggak juga, rumahku nggak…” belum sempat Naomi menyelesaikan kalimatnya tiba-tiba terdengar suara wanita memanggil Putri.

“Putri, itu kamu Nak?” tanya suara itu.

Putri bergegas masuk ke dalam sebuah kamar diikuti Naomi di belakangnya, “Iya Bu, ini Putri.” Putri menyentuh kening ibunya. “Oh iya, ini ada Mbak Naomi, yang sering aku ceritain itu!”

Naomi mengulurkan tangannya “Selamat siang Bu, nama saya Naomi.” ujarnya ramah.

“Aduh Non repot-repot datang ke sini segala. Putri sudah sering cerita tentang kebaikan Non Naomi, terima kasih banyak ya!”

“Nggak apa-apa kok Bu, sudah seharusnya saya memperhatikan sesama yang membutuhkan.” ujar Naomi tanpa menyadari dari mana kata-kata itu keluar.

Naomi menikmati waktu-waktunya di rumah Putri sampai tidak menyadari hari semakin sore. "Wah sudah sore, aku harus pulang nih, kasihan juga supirku nungguin di mobil."

"Terima kasih ya mbak Naomi mau main ke sini.”

“Justru aku yang harus berterima kasih, ini ada sedikit uang untuk ibumu, beliau harus dibawa ke dokter. Biar sakitnya nggak tambah parah.” ujar Naomi.

“Tapi mbak…”

“Nggak ada tapi-tapian!” Naomi menirukan gaya bicara Bu Dina yang tadi siang memarahinya. “Ini semua khan demi kesembuhan ibumu!”

Putri tertawa mendengar nada suara Naomi yang dibuat kebatak-batakkan itu.

“Oke, aku pulang dulu. Nanti pamitkan ibumu ya, aku nggak tega membangunkannya. Bye…” Naomi melambaikan tangannya.

Lima belas menit kemudian Naomi sampai di depan gerbang rumahnya, aneh, padahal saat pergi tadi mereka menghabiskan waktu hampir satu jam untuk sampai ke rumah Putri. Di depan pintu telah berdiri mamanya yang cemas menatapnya.

“Aduh sayang, kamu darimana aja sih? Sudah jam enam sore nih! Pergi kok nggak bilang-bilang? Handphone kamu juga nggak aktif lagi.”

“Sorry banget Ma, tadi aku ke rumah Putri, temanku yang suka ngojekin payung itu loh. Eng... handphone, lupa nggak dibawa! Udah ya sekarang aku mau mandi dulu!” Naomi mengecup pipi mamanya dan segera berlari menaiki tangga, dari atas dia berteriak, “Ma, bikinin susu donk!”

Dari bawah mamanya mengeluh, “Sudah kelas dua SMU kok masih kayak anak SD gitu sih?”

Selesai mandi, Naomi duduk di atas ranjang sambil menyeruput susu coklat dan memijat-mijat kakinya yang pegal, “Aduh capek banget nih, tapi nggak apa-apa dapat pengalaman baru. He… he… huah… ngantuk banget, eng… tapi kayak ada yang nggak benar nih. Seperti ada sesuatu yang harus dikerjain deh, tapi apa ya? AH!!! Peer Kimia!” Naomi segera membongkar tasnya.

Waktu telah menunjukkan pukul 24:00, Naomi sudah tidak sanggup menulis lagi. Dan akhirnya terkulai lemas di meja belajarnya, “Bodo amat deh besok dimarahi Bu Dina.”

*****

Keesokkan paginya Naomi bangun dengan kepanikan yang amat sangat, segera dibereskannya kertas-kertas yang berserakkan di atas meja dan bergegas ke kamar mandi.

Di dalam mobil berputar banyak alasan yang akan diberikan kepada Bu Dina perihal tugasnya yang tak selesai. Tapi sesampainya di sekolah Naomi mau tidak mau harus terkejut setengah mati ketika tugasnya ternyata telah selesai. Persis 100 lembar!

“Wah, saya nggak nyangka kamu akan serajin ini! Jawabannya betul semua kok. Oleh sebab itu kamu harus kerjakan tugas dulu baru bisa bilang tugasnya susah atau mudah!” nasihat Bu Dina yang tampaknya hari ini sedang bergirang hati.

Naomi menelan ludah, “Tapi Bu, saya…”

“Kenapa Naomi?”

“Ah enggak Bu, saya permisi masuk kelas dulu.” Naomi beranjak berjalan ke dalam kelasnya. “Perasaan tadi malam aku cuma kerjain dua puluh lembar, kok bisa jadi seratus ya? Apa mungkin aku ngerjainnya sambil tidur? Ih, nggak mungkin banget. Ah, paling-paling Kak Yuki yang bantuin aku.” Naomi menghibur dirinya sendiri.

*****

Seminggu berlalu sejak kejadian ajaib itu, dibilang ajaib karena baik Kak Yuki, Mama atau Papa Naomi sama sekali tidak merasa mengerjakan tugas kimia Naomi. Dan Naomi masih ingat kata-kata Yuki, kakak laki-lakinya, “Nggak mungkin aku yang ngerjain, kerajinan amat. Jangan-jangan itu guardian angel kamu yang iseng, abis sebel ngelihat kamu males!”

"Hei Non, semua itu dapat dijelaskan dengan logika! Nggak usahlah percaya sama hal yang aneh-aneh. Palingan kamu yang lupa udah ngerjain berapa lembar." nasihat Retha setelah mendengar cerita Naomi.

"Kamu tahu khan, aku nggak pernah bisa ngerjain yang namanya kimia semudah apa pun soalnya. Aku sudah alergi sama semua hal yang berbau kimia. Mana mungkin aku tiba-tiba bisa ngerjain?" ujar Naomi tegas.

*****

Masalah baru timbul, sudah seminggu Putri tidak pernah muncul di sekolah Naomi. Naomi khawatir, pasalnya sehari sebelum Putri menghilang Naomi baru saja mengutarakan keinginannya untuk menjadi kakak asuh yang akan membiayai sekolah Putri. Dia takut Putri merasa tersinggung dan tidak enak hati atas maksudnya itu.

"Tapi kayaknya waktu itu dia asyik-asyik aja deh, nggak merasa tersinggung." sahut Naomi dalam hati sambil memainkan payung merahnya pada percikan air hujan yang keluar dari paralon di samping kantin.

Selembar kertas berbentuk kapal-kapalan tiba-tiba meluncur mengenai punggungnya, seorang gadis terkikik-kikik melihat Naomi yang asyik menggerutu.

"Retha! Ngapain sih iseng banget?" bentak Naomi kesal.

"Lagian ngelamun aja. Kok nggak pulang?” tanya Retha.

"Kamu sendiri? Ngapain nggak pulang, mau ngecengin pak satpam ya?"

Retha mencipratkan air hujan ke wajah Naomi, "Aku khan mau ekskul. Hayoo, sekarang alasan kamu apa, jangan-jangan kamu yang mau ngecengin satpam deh!"

"Enggak, aku lagi nungguin Putri, sudah seminggu dia nggak pernah muncul. Aku khawatir, jangan-jangan ada apa-apa sama dia." cerita Naomi.

"Dia udah bosen ketemu kamu kali?!" seru Retha asal.

"Jangan asal deh. Ehm, gimana kalau kita berdua ke rumahnya? Heran, kenapa nggak kepikir dari kemarin-kemarin ya?" sahut Naomi.

"Yah, aku tahu dengan kapasitas otak yang segitu sih pasti... eh tunggu, tadi kamu bilang kita berdua?"

Naomi beranjak bangun, “Iya, kita berdua ke rumah Putri. Ayuk!”

“Loh, aku khan mau ekskul.” Retha protes.

“Udah lah, sekali-kali bolos masa’ nggak boleh?”

Setelah perdebatan selama sepuluh menit akhirnya Retha bersedia ikut walaupun dengan hati penuh kekesalan.

*****

“Kamu yakin di sini rumahnya?” tanya Retha sambil memandangi lahan kosong yang terhampar luas di depannya.

“Iya, bener di sini kok. Iya khan Pak?” tanya Naomi disambut anggukan setuju supirnya.

Retha membuka jendela mobil, gemericik air hujan masuk ke dalam, “Tapi di sini nggak ada bangunan sama sekali.”

“Jangan-jangan digusur? Aduh, gawat nih!” pekik khawatir Naomi kemudian keluar dari mobil tanpa mempedulikan hujan yang masih turun.

Retha bergegas keluar sambil membuka payungnya, “Kita mesti tanya sama orang lain yang rumahnya dekat sini.”

“Non, di depan ada motor melaju, saya stop-in ya!” ujar pak supirnya Naomi.

Retha dan Naomi bergegas mendekati si pengendara motor, “Ada apa ya?” tanya si pengendara motor itu.

“Maaf Pak, rumah yang ada di situ sudah digusur ya?” tanya Naomi.

“Rumah yang mana?”

Retha tidak sabaran, “Itu yang letaknya di sana!” tunjuk gadis itu.

“Hah? Dari jaman nenek saya masih doyan sirih nggak pernah ada rumah di situ. Tempat itu dari dulu cuma tanah lapang yang biasa dipakai anak-anak main bola!” cerita si pengendara.

“Apa!!” teriak Naomi dan Retha bersamaan.

*****

Naomi cukup terpukul dengan kejadian yang baru dialaminya. Semua kejadian tersebut tidak bisa dimengertinya sampai suatu hari di saat hujan tidak turun sepucuk surat tiba-tiba ada di meja belajarnya.

Mbak Naomi,

Terima kasih atas semua bantuan yang telah diberikan kepadaku dan ibuku. Engkau seorang gadis yang baik hati, sesuai dengan pendapatku tentang manusia, manusia yang tidak mementingkan ego demi sesamanya. Maafkan atas segala kesalahanku terutama sekarang saat Kau tak lagi menemukanku.

Hujan tak pernah berdusta, dan aku pun demikian. Engkau harus percaya apa yang ada, karena dengan percaya kau bisa mengerti rahasia ini. Putri sebenarnya bukan manusia, aku adalah malaikat kecil bagi hujan. Putri turun ke dunia untuk membuktikan pendapatku pada Ayah bahwa masih ada manusia yang memiliki kebaikan. Terima kasih atas segalanya, maafkanlah..

Sebab Putri hanyalah seorang Puteri, Puteri Hujan

-ILLUVIA dama-*

Tidak ada akal sehat ataupun logika yang mampu menjawab semua pertanyaan dan jangan kuatir, Naomi tidak perlu itu, karena dia yakin hatinya sudah mampu bahkan sudah sempurna mencerna kejadian ini.

-END-
Foto: Cerpen: Puteri Hujan

Cerpen kali ini terinspirasi dari banyaknya anak-anak ojek payung di halaman SMA saya dulu. Kepikiran deh bikin cerita tentang mereka. Gimana sih ceritanya? Yuk, disimak.

*****

Siang ini hujan turun dengan derasnya, angin dingin berhembus melalui kisi-kisi jendela kelas, menerpa ganas tubuh murid-murid yang sedang serius memperhatikan soal-soal reaksi redoks yang terpampang di papan tulis. Naomi mendekap erat tubuhnya sambil menatap soal-soal kimia yang ditulis oleh Bu Dina, guru kimianya yang “luar biasa” itu.

            Retha, teman sebangkunya, menatap heran gadis itu. “Mi, kok nggak dikerjain sih? Nanti kalau Bu Dina tahu kamu nggak ngerjain sama sekali gimana?”

            Naomi melirik ke arah guru yang membelakanginya, “Soal susah kayak gitu siapa juga yang sudi ngerjain.” bisik Naomi perlahan.

            “Hei, kalian berdua yang duduk di belakang, jangan ribut saja! Kalau nggak mau ngerjain tugas mendingan keluar saja!” pekik Bu Dina menggemparkan seisi kelas.

            “Habis soalnya susah sih Bu!” seru Naomi diiringi pandangan kaget semua teman sekelasnya yang heran dengan perkataan ajaib gadis itu.

            “Wah, wah, wah… bagaimana kamu tahu soal itu susah kalau nggak dicoba?! Sekarang lebih baik kamu kerjakan di luar. Saya nggak mau punya murid malas seperti kamu!” perintah Bu Dina keras, sehingga mau tak mau Naomi segera keluar kelas.

            “Sudah! Sekarang yang lain selesaikan soal persamaan reaksi di depan!” perintah Bu Dina.

            Naomi mendekap erat buku yang ada di tangannya, “Uh, sebel ngapain juga aku ngelawan Bu Dina! Udah di luar dingin lagi.” Naomi duduk di atas kursi batu yang ada di depan kelas sambil memandang hujan yang turun semakin deras. “Wah, Putri udah datang belum ya? Biasanya jam segini dia sudah ada di depan gerbang.” Naomi melihat jarum jamnya yang menunjukkan pukul 13:15.

            Seminggu yang lalu Naomi berkenalan dengan Putri, seorang gadis pengojek payung berusia 12 tahun, saat Naomi terlunta-lunta di tengah hujan menunggu supirnya yang tidak kunjung tiba. Mereka saling bercerita mengenai hujan dan apa saja yang menarik.

            “Duh enak ya, saya khan tidak bilang kamu boleh cuci mata kemana-mana!” teriakan Bu Dina menghablurkan lamunan Naomi.

            “Eh Bu Dina!” Naomi salah tingkah.

            “Coba lihat buku latihan kamu!” perintah Bu Dina.

            Naomi memberikan buku latihannya, dia khawatir setengah mati karena belum ada tulisan apa pun di buku itu.

            Bu Dina tersenyum, “Saya nggak lihat tulisan apa-apa, atau mungkin jawaban kamu sedang main petak umpet ya?!”

            “Eng… maaf Bu, saya…” ucap Naomi terbata-bata.

            “Oke, saya mau besok pagi sudah ada seratus lembar soal plus jawaban tugas tadi di meja saya!”

            “Hah… tapi Bu.”

            “Nggak ada tapi-tapian! Sekarang cepat masuk kelas dan pimpin doa!” perintah tegas Bu Dina yang langsung dituruti Naomi.

*****

            “Putri! Kamu darimana aja, banyak langganan ya? Saya sudah nungguin kamu dari tadi loh!” seru Naomi di pinggir bale-bale, sementara hujan masih turun.

            “Aduh maaf banget ya Mbak, ibu saya sakit, jadi saya…”

            Naomi mengerutkan keningnya, “Sakit apa?"

            “Nggak apa-apa kok Mbak, ibu cuma masuk angin biasa aja.”

            “Hati-hati loh, masuk angin nggak bisa disepelein nanti bisa jadi sakit… sakit…”

            “Sakit apa Mbak?” tanya Putri setengah ketakutan.

            Naomi meraba keningnya, “Eng… pokoknya gawat deh!” seru Naomi sok tahu.

            “Ketahuan nih Mbak nggak pernah dengerin gurunya ngajar ya?” goda Putri.

            “Ah enggak juga.” Naomi malu bukan main.

            “Mbak harusnya bersyukur loh. Masih banyak anak lain, termasuk saya, yang pengin banget sekolah.” tutur Putri prihatin.

            “Iya Non, aku akan lebih rajin belajar lagi. Oh iya, ini ada hadiah buat kamu."

            Putri menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya, "Buat saya mbak?" Putri membuka bungkusan itu, "Jaket... aduh ngerepotin segala."

            "Udah ambil aja, dengan jaket itu kamu nggak akan kedinginan. Sekarang bagaimana kalau aku anterin kamu pulang, sekalian jenguk ibumu.”

            Putri berseru khawatir, “Hah, lebih baik jangan deh.” cegah gadis itu.

            “Memangnya kenapa? Udah deh, ayuk!” Naomi menarik tangan mungil Putri dan setengah menyeretnya masuk ke mobil yang dikendarai supirnya.

*****

Rumah Putri sangat mungil sehingga Naomi merasa heran bagaimana ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, dapur, kamar bahkan kamar mandi bisa cukup di dalamnya. Di depan rumahnya ada sejengkal tanah yang penuh ditanami bunga-bunga matahari yang sedang mekar dengan eloknya.

Putri membuka pintu rumahnya, “Silakan masuk, Mbak. Maaf rumah saya kecil.”

Naomi kembali lagi berdecak kagum, rumah Putri memang kecil namun rapi dan bersih. “Wow, rumah kamu bersih sekali! Aku rasa di sini tidak akan ada kecoa, tikus dan binatang menjijikkan lainnya.” puji Naomi.

“Ah, masih kalah sama rumah Mbak Naomi?” sahut Putri merendah.

“Enggak juga, rumahku nggak…” belum sempat Naomi menyelesaikan kalimatnya tiba-tiba terdengar suara wanita memanggil Putri.

“Putri, itu kamu Nak?” tanya suara itu.

Putri bergegas masuk ke dalam sebuah kamar diikuti Naomi di belakangnya, “Iya Bu, ini Putri.” Putri menyentuh kening ibunya. “Oh iya, ini ada Mbak Naomi, yang sering aku ceritain itu!”

Naomi mengulurkan tangannya “Selamat siang Bu, nama saya Naomi.” ujarnya ramah.

“Aduh Non repot-repot datang ke sini segala. Putri sudah sering cerita tentang kebaikan Non Naomi, terima kasih banyak ya!”

“Nggak apa-apa kok Bu, sudah seharusnya saya memperhatikan sesama yang membutuhkan.” ujar Naomi tanpa menyadari dari mana kata-kata itu keluar.

Naomi menikmati waktu-waktunya di rumah Putri sampai tidak menyadari hari semakin sore. "Wah sudah sore, aku harus pulang nih, kasihan juga supirku nungguin di mobil."

"Terima kasih ya mbak Naomi mau main ke sini.”

“Justru aku yang harus berterima kasih, ini ada sedikit uang untuk ibumu, beliau harus dibawa ke dokter. Biar sakitnya nggak tambah parah.” ujar Naomi.

“Tapi mbak…”

“Nggak ada tapi-tapian!” Naomi menirukan gaya bicara Bu Dina yang tadi siang memarahinya. “Ini semua khan demi kesembuhan ibumu!”

Putri tertawa mendengar nada suara Naomi yang dibuat kebatak-batakkan itu.

“Oke, aku pulang dulu. Nanti pamitkan ibumu ya, aku nggak tega membangunkannya. Bye…” Naomi melambaikan tangannya.

Lima belas menit kemudian Naomi sampai di depan gerbang rumahnya, aneh, padahal saat pergi tadi mereka menghabiskan waktu hampir satu jam untuk sampai ke rumah Putri. Di depan pintu telah berdiri mamanya yang cemas menatapnya.

“Aduh sayang, kamu darimana aja sih? Sudah jam enam sore nih! Pergi kok nggak bilang-bilang? Handphone kamu juga nggak aktif lagi.”

“Sorry banget Ma, tadi aku ke rumah Putri, temanku yang suka ngojekin payung itu loh. Eng... handphone, lupa nggak dibawa! Udah ya sekarang aku mau mandi dulu!” Naomi mengecup pipi mamanya dan segera berlari menaiki tangga, dari atas dia berteriak, “Ma, bikinin susu donk!”

Dari bawah mamanya mengeluh, “Sudah kelas dua SMU kok masih kayak anak SD gitu sih?”

Selesai mandi, Naomi duduk di atas ranjang sambil menyeruput susu coklat dan memijat-mijat kakinya yang pegal, “Aduh capek banget nih, tapi nggak apa-apa dapat pengalaman baru. He… he… huah… ngantuk banget, eng… tapi kayak ada yang nggak benar nih. Seperti ada sesuatu yang harus dikerjain deh, tapi apa ya? AH!!! Peer Kimia!” Naomi segera membongkar tasnya.

Waktu telah menunjukkan pukul 24:00, Naomi sudah tidak sanggup menulis lagi. Dan akhirnya terkulai lemas di meja belajarnya, “Bodo amat deh besok dimarahi Bu Dina.”

*****

            Keesokkan paginya Naomi bangun dengan kepanikan yang amat sangat, segera dibereskannya kertas-kertas yang berserakkan di atas meja dan bergegas ke kamar mandi.

            Di dalam mobil berputar banyak alasan yang akan diberikan kepada Bu Dina perihal tugasnya yang tak selesai. Tapi sesampainya di sekolah Naomi mau tidak mau harus terkejut setengah mati ketika tugasnya ternyata telah selesai. Persis 100 lembar!

            “Wah, saya nggak nyangka kamu akan serajin ini! Jawabannya betul semua kok. Oleh sebab itu kamu harus kerjakan tugas dulu baru bisa bilang tugasnya susah atau mudah!” nasihat Bu Dina yang tampaknya hari ini sedang bergirang hati.

            Naomi menelan ludah, “Tapi Bu, saya…”

            “Kenapa Naomi?”

            “Ah enggak Bu, saya permisi masuk kelas dulu.” Naomi beranjak berjalan ke dalam kelasnya. “Perasaan tadi malam aku cuma kerjain dua puluh lembar, kok bisa jadi seratus ya? Apa mungkin aku ngerjainnya sambil tidur? Ih, nggak mungkin banget. Ah, paling-paling Kak Yuki yang bantuin aku.” Naomi menghibur dirinya sendiri.

*****

Seminggu berlalu sejak kejadian ajaib itu, dibilang ajaib karena baik Kak Yuki, Mama atau Papa Naomi sama sekali tidak merasa mengerjakan tugas kimia Naomi. Dan Naomi masih ingat kata-kata Yuki, kakak laki-lakinya, “Nggak mungkin aku yang ngerjain, kerajinan amat. Jangan-jangan itu guardian angel kamu yang iseng, abis sebel ngelihat kamu males!”

"Hei Non, semua itu dapat dijelaskan dengan logika! Nggak usahlah percaya sama hal yang aneh-aneh. Palingan kamu yang lupa udah ngerjain berapa lembar." nasihat Retha setelah mendengar cerita Naomi.

"Kamu tahu khan, aku nggak pernah bisa ngerjain yang namanya kimia semudah apa pun soalnya. Aku sudah alergi sama semua hal yang berbau kimia. Mana mungkin aku tiba-tiba bisa ngerjain?" ujar Naomi tegas.

*****

            Masalah baru timbul, sudah seminggu Putri tidak pernah muncul di sekolah Naomi. Naomi khawatir, pasalnya sehari sebelum Putri menghilang Naomi baru saja mengutarakan keinginannya untuk menjadi kakak asuh yang akan membiayai sekolah Putri. Dia takut Putri merasa tersinggung dan tidak enak hati atas maksudnya itu.

            "Tapi kayaknya waktu itu dia asyik-asyik aja deh, nggak merasa tersinggung." sahut Naomi dalam hati sambil memainkan payung merahnya pada percikan air hujan yang keluar dari paralon di samping kantin.

            Selembar kertas berbentuk kapal-kapalan tiba-tiba meluncur mengenai punggungnya, seorang gadis terkikik-kikik melihat Naomi yang asyik menggerutu.

            "Retha! Ngapain sih iseng banget?" bentak Naomi kesal.

            "Lagian ngelamun aja. Kok nggak pulang?” tanya Retha.

            "Kamu sendiri? Ngapain nggak pulang, mau ngecengin pak satpam ya?"

            Retha mencipratkan air hujan ke wajah Naomi, "Aku khan mau ekskul. Hayoo, sekarang alasan kamu apa, jangan-jangan kamu yang mau ngecengin satpam deh!"

            "Enggak, aku lagi nungguin Putri, sudah seminggu dia nggak pernah muncul. Aku khawatir, jangan-jangan ada apa-apa sama dia." cerita Naomi.

            "Dia udah bosen ketemu kamu kali?!" seru Retha asal.   

            "Jangan asal deh. Ehm, gimana kalau kita berdua ke rumahnya? Heran, kenapa nggak kepikir dari kemarin-kemarin ya?" sahut Naomi.        

            "Yah, aku tahu dengan kapasitas otak yang segitu sih pasti... eh tunggu, tadi kamu bilang kita berdua?"

            Naomi beranjak bangun, “Iya, kita berdua ke rumah Putri. Ayuk!”

            “Loh, aku khan mau ekskul.” Retha protes.

            “Udah lah, sekali-kali bolos masa’ nggak boleh?”

            Setelah perdebatan selama sepuluh menit akhirnya Retha bersedia ikut walaupun dengan hati penuh kekesalan.

*****

            “Kamu yakin di sini rumahnya?” tanya Retha sambil memandangi lahan kosong yang terhampar luas di depannya.

            “Iya, bener di sini kok. Iya khan Pak?” tanya Naomi disambut anggukan setuju supirnya.

            Retha membuka jendela mobil, gemericik air hujan masuk ke dalam, “Tapi di sini nggak ada bangunan sama sekali.”

            “Jangan-jangan digusur? Aduh, gawat nih!” pekik khawatir Naomi kemudian keluar dari mobil tanpa mempedulikan hujan yang masih turun.

            Retha bergegas keluar sambil membuka payungnya, “Kita mesti tanya sama orang lain yang rumahnya dekat sini.”

            “Non, di depan ada motor melaju, saya stop-in ya!” ujar pak supirnya Naomi.

            Retha dan Naomi bergegas mendekati si pengendara motor, “Ada apa ya?” tanya si pengendara motor itu.

            “Maaf Pak, rumah yang ada di situ sudah digusur ya?” tanya Naomi.

            “Rumah yang mana?”

            Retha tidak sabaran, “Itu yang letaknya di sana!” tunjuk gadis itu.

            “Hah? Dari jaman nenek saya masih doyan sirih nggak pernah ada rumah di situ. Tempat itu dari dulu cuma tanah lapang yang biasa dipakai anak-anak main bola!” cerita si pengendara.

            “Apa!!” teriak Naomi dan Retha bersamaan.

*****

            Naomi cukup terpukul dengan kejadian yang baru dialaminya. Semua kejadian tersebut tidak bisa dimengertinya sampai suatu hari di saat hujan tidak turun sepucuk surat tiba-tiba ada di meja belajarnya.

Mbak Naomi,

            Terima kasih atas semua bantuan yang telah diberikan kepadaku dan ibuku. Engkau seorang gadis yang baik hati, sesuai dengan pendapatku tentang manusia, manusia yang tidak mementingkan ego demi sesamanya. Maafkan atas segala kesalahanku terutama sekarang saat Kau tak lagi menemukanku.

            Hujan tak pernah berdusta, dan aku pun demikian. Engkau harus percaya apa yang ada, karena dengan percaya kau bisa mengerti rahasia ini. Putri sebenarnya bukan manusia, aku adalah malaikat kecil bagi hujan. Putri turun ke dunia untuk membuktikan pendapatku pada Ayah bahwa masih ada manusia yang memiliki kebaikan. Terima kasih atas segalanya, maafkanlah.. 

Sebab Putri hanyalah seorang Puteri, Puteri Hujan 

                                                                                       -ILLUVIA dama-*

Tidak ada akal sehat ataupun logika yang mampu menjawab semua pertanyaan dan jangan kuatir, Naomi tidak perlu itu, karena dia yakin hatinya sudah mampu bahkan sudah sempurna mencerna kejadian ini.

-END-

Cerpen Humor

Paket Kurus Murah

Kenalin, nama gua tugu asmara, biasanya sih dipanggil gengen atau gendut. Udah lama gua pengen ngurusin badan gua, tapi alhasil berat badan gua, gak pernah mau turun. Asal kalian tau aja, gua orangnya gak terlalu tinggi. Tinggi gua sekitar 169 lah, tapi berat badan gua sekarang sudah 97 boos, hampir 1 kuintal, buseeettt..!!
Suatu hari gua ketemu ibu-ibu, dia bilang ke gua, “itu badan apa karung goni sih, besar banget”.
Gua sih gak marah, cuma jawab “ini kan meja pimpong bu”.
Terus ibu itu bilang, “kamu mau kurus gak..?”
“Ya iya lah lah bu, bosan tau”.
“Mudah dan murah kok, buat ngilangin lemak kamu, cuma seribu lima ratusan kok, lemak kamu bakal hilang seketika, Kamu punya duit gak..?” Dia bilang.
Terus gua bilang “ada buk, tapi gak mungkin lah cuma 1.500 bisa ngilangin lemak”
“Iya serius, sini duit kamu biar saya beliin”.
“Okee” jawabku
10 menit berselang ibu itu ngasih kantong kresek warnah hitam ke saya. Dia langsung ngasih kantong itu, dan bilang selamat mencoba, semoga berhasil, lalu dia pergi. Tanpa pikir panjang, gua langsung aja lihat isi dalam kantong tersebut. Dan ternyata isi nya SUNLIGHT “Ampuh Bersihin Lemak Seketika”
hahahahahaahhaa

Cerpen: Tujuh Belas Agustus-an


*****

Onit memutar-mutar kabel telpon dengan tidak sabar, pasalnya Ata, sohibnya, tidak juga memberikan jawaban atas ajakannya untuk menonton Pagelaran Pentas Seni besok, “Gimana Ta, mau ikut nggak? Ayo kapan lagi kita bisa nonton konsernya Apollo? Ferdi Ta, Ferdi! Lo nggak mau liat tampang imut bassis band Apollo itu?”

“Mau sih, tapi Nit, besok di sekolah ‘kan ada upacara tujuh belasan,” ujar Ata bingung.

“Yee… bolos sekali aja ‘kan nggak apa-apa. Lagian ngapain juga ikut upacara, bikin boring n’ capek aja. Mendingan juga kita nonton pen-si di Lebak Bulus. Gue jamin acaranya pasti jauh lebih seru!” Onit masih sibuk meyakinkan Ata.

“Mmh… gimana ya? Pengin banget sih. Tapi enggak ah, aku takut ketahuan bolos sama Pak Joko, nanti diskors lagi.” Ata khawatir.

“Aduh, kasian deh elo. Pak Kepsek aja ditakutin, mana mungkin sih dia sempat nyebarin buku absen? Ya udah kalau elo nggak mau juga nggak apa-apa. Gue pergi sendiri aja!” sahut Onit ketus.

“Terus tiket yang sudah kamu beliin buat aku gimana?”

“Tenang, tiket elo nggak mubazir kok, masih bisa gue kasih ke Rio, sepupu gue. Dah Ata, selamat berupacara ria. Salam ya buat Pak Joko. Nanti gue ceritain deh bagaimana cakepnya Ferdi. Bye!” goda Onit kemudian menutup gagang telponnya dengan sebal, “Mmh, dasar Ata penakut. Diajakin senang-senang malah milih yang susah, milih ikut upacara tujuh belasan lagi? Tiap tahun ‘kan acaranya cuma gitu-gitu aja, habis upacara pasti ada perlombaan. Balap karung, makan kerupuk; norak banget ah, nggak menarik! He… he… mendingan nonton pertunjukkannya Apollo, uh Ferdi kamu cakep banget deh. Muah…” Onit menciumi wajah Ferdi, bassis band Apollo, yang terpampang pada poster di dinding kamarnya.

Malamnya Onit tidak bisa terlelap, ia terlalu kegirangan menghadapi hari esok. Bagaimana tidak, Rio, sepupunya, ternyata kenal sama Ferdi cowok idamannya itu. Dan besok rencananya, Onit bakal diajak keback stage untuk kenalan sama masing-masing personil band Apollo tersebut. Wah berarti besok dia mesti dandan yang keren, ‘kan mau ketemu Ferdi. Selain itu Onit juga nggak mau kehilangan kesempatan untukngecengin personil Apollo yang lain seperti: Alex, Chris, dan PeeWee.

“Ih, nggak bisa bayangin mukanya Ata kalau besok lusa gue kasih lihat kumpulan tanda tangan mereka. Lagian siapa suruh diajak nggak mau? Yes!” teriak girang Onit dalam hati sambil memukuli bantalnya, kemudian akhirnya tertidur karena lelahnya.

*****

Onit menerima boneka Teddy Bear yang diberikan Ferdi untuknya, hatinya senang sekali.

“Ini kenang-kenangan untuk fans cantik seperti kamu Nit,” dan Ferdi pun menghadiahi kecupan manis di pipi Onit.

“Ih, tidur kok sambil senyum-senyum sih? Ayo Onit bangun!” teriakan Mama membuyarkan impian Onit.

“Ah, Mama bangunin aja ‘kan mimpinya lagi seru,” Onit kesal, ternyata tadi hanya bermimpi.

“Udah ah jangan merengek-rengek seperti itu. Cepat mandi sana, nanti telat ke sekolah loh!”

Onit mengeluh, “Mama, pagi-pagi kok udah dibangunin sih? ‘Kan sekarang tanggal merah?”

“Iya tapi hari ini tanggal tujuh belas Agustus. Bukannya kamu harus ke sekolah untuk upacara bendera?” tanya Mama.

Onit terkesiap, ia lupa menyiapkan rencana untuk mengelabui Mamanya, “Ah, nggak ada upacara kok, hari ini ‘kan sekolah libur,” Onit berbohong.

“Libur? Biasanya tiap tanggal tujuh belas Agustus ada upacara di sekolah? Mmh, pasti kamu bohong sama Mama deh?”

“Nggak kok!” seru Onit panik, “Tahun ini nggak ada upacara di sekolah. Menurut bapak Kepala Sekolah, anak-anak lebih baik menonton siaran upacara bendera di tv aja. ‘Kan lebih punya makna dan arti Ma, daripada harus upacara di sekolah. Lagipula percuma Ma, di sekolah anak-anak pasti nggak ada yangnyimak jalannya upacara,” yakin Onit.

“Oh ya?” Mama tetap tidak yakin, “Mmh… tapi justru kebetulan kalau begitu, hari ini Mama dan Papa mesti mengurusi perkebunan di Lembang. Mama jadi bisa berangkat pagi-pagi dan punya banyak waktu untuk menyelesaikan masalah di sana karena nggak usah repot-repot nganterin dan jemput kamu di sekolah.”

Onit berseru girang, tidak menyangka rencananya bakal sukses seperti ini, “Ya udah, Mama pergi aja. Have fun ya di sana!”

“Tapi kamu nggak boleh main kemana-mana ya. Kamu harus jaga rumah!” perintah Mama.

“Eng… iya donk Ma! Pasti Onit bakal jaga rumah baik-baik,” sahut Onit nggak yakin.

*****

“Jam berapa sih Apollo-nya bakal main?” tanya Onit pada Rio sambil sesekali melirik arlojinya.

“Ih, nggak sabaran amat sih?! Mereka ‘kan band terkenal, nah yang beken-beken itu biasanya tampil belakangan,” ujar Rio kesal.

“Tapi sekarang ‘kan sudah jam empat sore, mau nunggu mereka sampai jam berapa lagi nih?” Onit semakin gelisah.

“Eh, bisa diam nggak? Nanti kalau elo masih cerewet terus, nggak gue ajak ke back stage loh!” ancam Rio.

“Hah! Jangan begitu dong, iya deh gue nggak akan cerewet lagi!” janji Onit.

Dan tepat lima belas menit kemudian…

“Sekarang kita saksikan penampilan group band yang paling kita tunggu-tunggu… Apollo!” teriakan pembawa acara membahana diikuti sorak-sorai para penonton di lapangan tersebut. Onit mengguncang-guncang tangan Rio saking senangnya, sementara Rio menatap gadis itu dengan pandangan sebal.

“Good afternoon everybody!” sapa Alex, sang vokalis.

“Loh Rio! Ferdi-nya mana, kok nggak ada?” tanya Onit tiba-tiba.

“Oh iya ya, tuh posisi bassis-nya digantiin sama Jerry, personilnya Acapulco,” jelas Rio.

Kemudian Alex, vokalis band tersebut memberi penjelasan, “Maaf teman-teman, Ferdi nggak bisa tampil karena saat ini dia sedang ada urusan penting di tempat lain. Dan Jerry untuk sementara menggantikan posisi Ferdi. Ayo kita kasih tepuk tangan untuk Jerry!” penonton pun bersorak-sorai.

Dan Onit yang kecewa akhirnya pergi meninggalkan tempat itu diikuti Rio yang berlari-lari mengejarnya.

*****

“Halo Onit ya? Bagaimana pertunjukannya, seru nggak?” tanya Ata.

“Udah jangan tanya-tanya. Gue lagi dihukum disuruh jahit bantal yang bolong-bolong nih.”

“Wah ketahuan kabur dari rumah ya?” goda Ata, “Eh, terus gimana penampilannya Apollo? Ferdinya cakep?” tanya Ata sambil cekikikan.

“Sebel!” pekikan Onit membahana di sepanjang kabel telepon, “Elo tahu ‘kan kalau gue cuma mau ketemu Ferdi, eh dia malahan gak bisa tampil. Pakai alasan ada urusan penting segala-lah, payah!”

“Oh begitu. Aku tahu kok Ferdi ada urusan penting dimana,” sahut Ata genit.

Onit memperbaiki posisi gagang teleponnya, “Memangnya dia ada di mana?” tanyanya penasaran.

“Ada di sekolah!”

“Di sekolah? Maksudnya?”

“Begini nih, setelah upacara dan acara lomba selesai. Pak Joko buat kejutan sama kita dengan mendatangkan Ferdi, bassisnya Apollo itu, untuk menghibur kita. Tahu ‘kan kalau Ferdi alumnus SMU kita. Nah dia nyanyi bareng anak-anak paduan suara, termasuk aku. Uh, ternyata dia jago nyanyi juga loh. Mestinya kamu nggak bolos upacara Nit, rugi banget deh.”

Onit tercengang, “Jadi…si Ferdi tadi ke sekolah? Ah, sebel-sebel!” sesal Onit.

Ata ketawa, “Iya Nit, duh kamu bener loh. Dari jarak yang bisa diukur pakai penggaris 30 sentian, si Ferdi benar-benar kelihatan cakep banget deh! Aku jadi makin naksir sama tuh orang. Oh iya buat menghibur kamu, besok aku bawain foto-fotonya ya!”

Onit mingkem. Dia mogok ngomong.

“Oh iya Nit, ada pesan dari Ibu Ambar nih. Besok pagi kamu disuruh menghadap Pak Joko, karena tadi cuma kamu satu-satunya anak yang nggak masuk sekolah,” lapor Ata.

Onit jadi ketakutan setengah mati, “Ha! Aduh mati gue, kalau gue ketahuan bolos bisa diskors donk.”

“Yah semoga nggak deh. Eh, Nit...”

“Aduh… apaan lagi sih?”

Ata ketawa ngakak, “Emang enak nggak ketemu sama Yayang Ferdy? Huehehe…kacian deh elo!” Ata makin ngakak sambil diiringi sumpah serapah Onit.

-END-

Cerpen Cinta Sedih

Semua Tentang kita
Karya Putri Ayu Paundan


Namaku natasya, aku pernah mencintai seseorang dengan tulus. Tapi, semua ketulusan cintaku padanya berakhir sia-sia.
“Natasya, jangan sedih terus dong. Senyuum.” kata sahabatku dewi sambil mencari tisu di meja rias kamarku
“gue gak bisa dew, gue ga terima dia ninggalin gue, pergi gitu aja tanpa pamit.”
Arya adalah seorang cowok yang sangat aku sayangi, dia pergi meninggalkanku tanpa alasan. Akupun baru tau kepergiannya setelah sehari dia pergi. Dia juga tak pernah mengabariku kenapa ia pergi. Yang ku tau, Arya harus meninggalkan sekolah lamanya bersamaku karna dia di tuntut kedua orang tuanya untuk tinggal di pesantren , tepatnya di daerah lampung. Akupun terpukul mendengarnya.
“sya, lo gak bisa terus-terusan mikirin arya kaya gini. Dia itu gamau bilang kepergiannya karna dia gamau liat lo sedih. Coba kalo dia tau lo sedih kaya gini. Gimana sya.”
“tapi gue kecewa banget wi, lo ga ngerti perasaan gue.”
Sehari sebelum arya pergi, teman-teman sekelasku sebenarnya sudah tau akan kabar bahwa arya akan pindah dari sekolah. Tapi arya melarang mereka semua untuk memberitahuku dan merahasiakan semuanya. Ini juga karena arya gak ingin buat aku bersedih. Tapi justru malah sebaliknya .
***
Seminggupun berlalu, aku masih belum bisa menerima semua ini. Disekolah rasanya sepi tak ada arya di sisiku yang biasanya setiap hari menyapaku, tertawa bersama. Arya juga tak pernah mengabariku dia menghilang begitu saja. Sampai sekarang aku belum bisa memaafkannya sebelum aku tau alasannya mengapa dia tak memberitahuku tentang kepergian dan kepindahannya ke lampung. Aku mencoba melupakannya tapi aku tak bisa, perasaan ini menyiksaku. Semakin aku mencoba melupakannya, semakin aku tak bisa menghapus kenangan Arya dari hatiku.
“sya, maafin gue ya gue gak bilang sama lo . sebenernya gue udah tau Arya mau pindah dari sekolah, tapi Arya ngelarang gue buat bilang sama lo, katanya dia gak mau buat lo sedih. Lo pasti bisa dapetin yang lebih dari dia. Itu pesan arya buat lo.” Kata eza sahabatnya arya.
Saat eza bilang semua itu kepadaku entah mengapa, hatiku gak bisa menerimanya. Aku menyayangi arya, hanya arya yang selalu ada di hatiku, dan dia yang terbaik untukku. Itu menurutku.
“lo jahat za, kenapa lo gak bilang sama gue dan harusnya lo tuh ngerti.”
“iya, maafin gue sya. Gue salah, tapi mau gimana lagi arya udah pergi dan asal lo tau sya. Dia sayang banget sama lo. Dia sebenernya gamau pindah, tapi karna desakan orang tuanya dia pindah ke pesantren.”
“ gue kecewa za sama dia. Kenapa dia gak bilang dari awal?”kataku lemas
Aku meninggalkan eza yang masih diam membisu diambang pintu kelasku. Aku gak mau mendengar semuanya lagi. Aku udah cukup kecewa dengan semua ini. andaikan waktu bisa berhenti berputar untuk saat ini, aku ingin kembali dan melihat arya untuk terakhir kali.
***
Pagi hari di kelas,
Seiring berjalannya waktu meskipun arya tak pernah mengabariku, dan mungkin dia sudah lupa denganku. Yaa, begitupun aku masih terus mencoba melupakannya. Hari-demi hari kujalani semuanya seperti normal dulu sebelum arya pindah dari sekolah ini. Aku hanya bisa mencoba untuk ikhlas dengan yang ku jalani sekarang. Andaikan ini semua mimpi, aku tak mau ini semua akan terjadi. Tetapi apa daya semuanya bukan mimpi, ini nyata.
“sya...” panggil seseorang dari tempat duduk belakang dan ternyata itu eza , dia berjalan menghampiriku
“apaan za?’’ kataku
“sya, kemaren arya chat gue nanyain lo.”
“terus?”
“kok terus?”
“iyaa, terus kenapa? Apa urusannya sama gue?”
“adalah ”
“apaan?” tanyaku sinis
“dia masi nungguin lo.”
“oh.” Jawabku singkat
“dih ngeselin nih anak, emang lo gamau tau kabarnya dia?”
“ah gatau gue, gue bingung sama dia , dia bilang sayang sama gue tapi apaan ninggalin gue gitu aja dan udah seminggu lebih gue gatau kabarnya.”
“yaa lo tanya lah kabarnya gimana?”
“ngapain ah za, gue cewek gengsi kali nanya ke cowo duluan.” Kataku agak jengkel
“gue bingung ama lo berdua, lo sama arya sama-sama sayang, tapi gak ada yang mau mulai duluan. Gimana kalian mau jadian kalo sama-sama gengsi. Cinta, tapi munafik. ”
“harusnya dialah, minta maaf enggak , kabarin gue juga enggak. Kalo gue disuruh milih untuk kenal sama dia atau gak, gue akan lebih milih enggak dari pada gue harus sakit hati kaya gini akhirnya...gue malah kecewa banget.”
“yaaa, kemaren dia nanyain kabar lo, ya gue jawab lo sedih banget dia pindah.”
“lo jujur amat si za, aaaah tau deh.”
***
Hari terus berganti, meninggalkan semua kisah yang ada begitupun kisah ku dengan arya , aku bertekat untuk melupakannya. Aku udah cukup kecewa dengan semua ini. Setiap kali aku berdoa, mendoakannya untuk kembali bersama ku lagi seperti dulu tapi itu semua tak mungkin. Aku memang mencintai arya, tetapi tak pernah arya jujur akan rasa sayang dan cintanya kepadaku, selalu eza yang bilang kepadaku setiap kali arya curhat kepadanya. Aku bingung dengan semua ini, mencintai seseorang tanpa sebuah kepastian yang pasti.
Tuhan..... jika memang dia yang terbaik untukku, jagalah dia disana tuhan...
Jagalah hatinya untukku, dan jagalah hatiku untuknya...
Aku disini hanya bisa mendoakannya, melihat nya dari kejauhan...
Ini berat untuk ku jalani Tuhan... jauh dari seseorang yang aku sayangi.....
Aku menyayangi dan mencintainya... tabahkan hatiku Tuhan...
Tuhan .. hanya satu pintaku, jagalah iya saat aku jauh dari sisinya.... :’)
Setiap malam setiap ada kesempatan aku berdoa dan menangis, akankah cintaku padanya akan kembali seperti dahulu menjalani hari-hari dengan penuh canda maupun tawa. Cinta ini membunuhku...kau adalah mimpi takkan pernah ku gapai.
***
Sebentar lagi liburan semester tiba, 6 bulan sudah berlalu. Sebenarnya momen-momen itulah yang selama ini ku tunggu. Karna liburan sekolah Arya pasti pulang ke Jakarta dan ada kemungkinan kita akan bertemu lagi. Tetapi , mendengar kabar kalo Arya pasti akan pulang ke Jakarta hatiku biasa saja. Tidak ada getaran-getaran seperti dulu saat aku bersamanya, mungkin karena selama 6 bulan ini aku sudah terbiasa tanpanya, yaa meskipun awalannya aku sangat terpukul dan kecewa juga sedih. Tapi sekarang aku sudah mempunyai seseorang yang bisa menggantikan hati Arya di hatiku yaitu Aka sudah 6 bulan juga aku mengenalnya. Aka datang di kehidupanku ketika hatiku sedang hampa dan kosong tanpa arah. Dia menyembuhkan luka di hatiku, awalnya aku memang tak bisa melupakan Arya karna bagaimanapun juga Arya akan selalu tinggal di hatiku. Saat kepergian Arya, Aka lah yang selalu menemani hari sepiku selama 6 bulan aku mengenal Aka, bagiku dia adalah seorang cowok yang baik , pengertian, dan sabar. Sudah 3 kali Aka menyatakan perasaannya padaku , tetapi tak pernah ku jawab aku hanya bilang kepada aka kalo aku masih mengejar sesuatu. Aka pun mengerti, walaupun dia tak pernah tau aku masih menunggu seseorang , yaitu Arya. Dan Aka masih setia menunggu hatiku. Dan akupun janji akan menjawabnya, aku menerima cintanya atau tidak saat ulang tahun Aka nanti.
***
Pagi di sekolah,
“besok kita bagi rapot sya.” Kata dewi sahabatku
“iya , gue takut nih jadinya masuk jurusan apa wi.”
“udah yakin lo pasti IPA. “
“yaa mudah-mudahan aja kalo kita bisa satu kelas lagi, lo IPA dan gue juga.”
“amiin.”
“haaai semua.” Sapa eza sambil duduk di sebelahku
“apaan si za, JB JB aje.” Kata ku
“hahaha.... lagi ngomongin apaan si? Serius amat?” eza tertawa pelan
“jurusan za...” kata dewi
“oh gitu yaa... lo pasti mah IPA, kalo gue sih maunya IPS.”
“yaa amin-amin mudah-mudahan kita masuk yaa.” Kataku
“iyaa amin .” kata mereka berdua
“eh sya, btw gimana perasaan lo sekarang sama Arya?”tanya eza kepadaku
“yaaah, lo ngomongin Arya lagi.” Jawabku lemes
“dia selau nanyain keadaan lo sama gue sya, ya gue jawab lo baik. Arya juga bilang kenapa dia gak nembak lo. Katanya dia , dia gamau nyakitin lo lagi emangnya lo mau pacaran jarak jauh sama Arya? Arya takut lo nolak dia, kalopun lo nerima dia, kasian elo nya arya gak pernah ada di samping lo . lo tau kan pesantren gimana? Dia pulang juga pas liburan.”
“yaaa.. gue tau. Status menurut gue gak penting. Yang gue mau komitmen za. Kepastian. Dia sayang sama gue tapi dia gak pernah bilang ataupun jujur sama persaannya sama gue. Gimana gue mau percaya sama dia, bisa aja kan dia pacaran disana atau udah punya cewek pengganti gue? Gue yakin za. lagian 6 bulan udah berlalu. Gue mungkin bisa lupain dia, tapi gue gak akan bisa ngelupain semua kenangan tentang kita”
“oh iya, liburan dia kesini sya. Dia pengen ketemu sama lo.”
“gue gamau lah za, udah cukup yang dulu2 gue gamau nantinya keinget dia lagi. Sekarang gue udah punya yang lain, meskipun gue belum jadian sama dia. Tapi kita udah deket semenjak Arya ninggalin gue.”
“siapa?” tanya eza
“aka namanya za, dia ganteng putih jago main basket dan juga jago futsal.” Kata dewi yang menambah pembicaraan suasana menjadi semakin hangat
“serius lo sya?” tanya eza tak percaya
“iya, gue serius dan suatu saat kita pasti akan jadian.” Kataku padanya
“jujur nih gue sya sama lo Arya disana banyak yang nembak dan banyak yang sukain. Lo mau tau semua cewek yang nembak dia banyak, terus dia tolak. Adapun anak SD nembak dia, dan katanya mirip sama lo.”
“terus di terima?” kata dewi sahabat ku, yang duduk di sampingku sembari membaca novel
“gue belom tau kabarnya. setau gue sih dia belum jawab mau nerima tu cewek apa enggak.”
# Bel pun berbunyi
***
Pagi hari,
Hari ini adalah hari yang ku tunggu-tunggu mama ku sudah bersiap-siap untuk mengambil rapotku. ketika sampai di sekolah , aku berpapasan dengan eza. eza tak melihatku mungkin dia gak sadar seseorang yang berpapasan dengannya itu aku. Setelah pembagian hasil rapot selesai ternyata alhamdullilah akhirnya aku masuk jurusan IPA, jurusan yang selama ini aku cari dan sudah aku rencanakan.
“sya, tar abis bagi rapot main yuk.” Kata sari teman dekatku
“okeey, siapa aja?” tanyaku
“banyak lah. Pokoknya.”
“okedeh.”
“lo udah bagi rapot?” tanyanya
“udah nih,”
“wesss... ipa nih ye. Slamet yaa.”
“lo emang belom?” tanyaku
“belom, tar abis ini.”
“oh okey, emng kita mau main apa?”
“main UNO aja, hehe lo bawa uno?”
“kagak sii, yaudah gue balik dulu yaa..tar samper gue aja.”
***
Siang hari,
“natasya, ayok berangkat main.. anak-anak udah pada ngumpul. Jangan lupa uno nya.”
Aku naik motor di jemput oleh teman dekat ku sari. Setelah beberapa menit sampai di rumah sabi, akhirnya kita semua main UNO
“sabi, si eza gak dateng?”
“gatau sya, katanya mau pergi.”
Sabi adalah teman deketku juga , karna rumahnya adalah basecame kami, tempat kami berkumpul dan bercanda bareng
Tak lama sambil kita memainkan UNO , ada suara motor berhenti di rumah sabi. Ici temen ku keluar dan membuka pintu. Ku lihat dari arah jendela ternyata eza, tetapi disana ada seseorang lagi. Memakai helm dan sepertinya aku mengenalnya, Cuma dari jendela tidak terlalu kelihatan. Seseorang itu melepas helm nya dan ternyata... OMG ! batinku...... ternyata seseorang itu adalah...
“sya, ada Arya tuh.”
“hah ? serius lo sab?”
“iya serius gue, tuh anaknya kesini kan.”
Oh Tuhaan.... apa salahku, aku tak ingin bertemu dengannya. Tetapi sekarang kita malah di pertemukan. Apa ini takdirku Tuhan.. untuk bertemu dia lagi. Deg..... tiba-tiba saja terasa jantungku berhenti, getaran ini sudah lama tak kurasakan. Sangat berbeda sekali bila aku dekat dengan aka, tidak ada getaran seperti ini. ada apa ini?” batinku
“sorry sya, dari awal kita semua sudah ngerencanain ini, untuk nemuin lo sama Arya.”
Aku dan arya hanya tersenyum tipis. Tapi aneh sikapnya Arya, dia bener-bener berubah. Dia tak menyapaku. Bahkan menegurku itupun tidak. Apa yang terjadi Tuhan batinku. Apa dia sudah menemukan yang lain? Entahlah.... selama kita semua ngobrol, tetapi aku dan arya tidak juga saling tegur sapa, kenal.. tapi kaya ga kenal.. Arya seperti orang asing dalam hidupku.
“sya, arya kalian berdua diem aja..” ledek mereka
“ayodong kangen-kangenan apa kek gitu?” kata ici teman dekatku yang juga ikut meledek
“tau lo ya, udah ada orangnya malah di cuekin. Giliran ga ada malah nyariin.”ledek eza
“apaansih lo za, gajelas.” Jawabku sinis
“yee lo berdua tuh cinta, tapi munafik. Sama-sama cinta tapi malu-malu gak ada yang mau mulai duluan. Gininih jadinya cuek-cuekan kalo ketemu.”
Kenapa harus gue yang mulai duluan apa musti gue yang negur duluan? Siapa yang buat salah ? gue kah? Atau dia? Yang ninggalin gue siapa? Yang buat gue sedih siapa? Yang buat gue kecewa dan sakit hati siapa? Harusnya lo sadar Arya ! batinku meringis.
“yaudah lah za, kalo mereka emang mau diem-dieman.” Kata sabi
Aku hanya tersenyum ke arah mereka yang menatapku juga Arya. Setiap kali aku memergoki arya melirikku, dan aku juga meliriknya batinku nangis apa iya arya gak kangen sama aku, atau minta maaf? Tapi apa nyatanya... itu tidak sama sekali !! yang ku lihat dari sorotan matanya masih ada cinta dan rindu dihatinya. Akupun merasakan itu. Tatapannya, masih seperti dulu, dingin tetapi penuh arti dari sorotan matanya penuh keteduhan. Andai saja tatapan ini bisa membunuh, mungkin aku sudah terkapar olehnya.
Akhirnya kita semua main UNO , mainan yang biasa kita mainin kalo gak ada mainan yang bisa dimainin . kita anak SMA tetapi masih main kartu UNO, yaa walaupun UNO buat semua umur. Eza pun membagikan kartu UNO nya. Dan kita semua main. Ternyata seiring berjalannya waktu, pertama sari keluar menang, disusul sabi, disusul eza, dan yang terakhir ici, yang salalu main UNO keringetan. Main UNO aja kok keringetan? Dan yang tersisa hanya aku dan aray. Permainan semakin menegang. Belom ada kepastian siapa yang menang aku ataupun aray.
“ayodong menangin sya.” Teman-temanku menyemangatiku. Begitupun aray yang sibuk dengan kartu-kartunya .
“udeh lo pasti menang deh ray.” Kata eza yang malah membela aray di banding aku
“eh belom tentuu.” Kataku , daaaannnn.....
“UNO ! “ aray mengucapkan kata itu bentar lagi dia menang karna kartunya tinggal satu 4+ ternyata.”
aku pun kalah saat permainan itu. Tapi taapalah ini hanya sebuah permainan, akhirnya kita semua tertawa bersama.
bahagia itu sederhana ... walaupun aku dan aray tak saling tegur sapa bahkan saat bermain aray tak juga menatapku. Tetapi dengan melihat aray tersenyum atas kemenangannya padaku. Aku sudah senang.” #Bahagiaitusederhana aku mungkin saja melupakanmu ketika kau pergi, dan jauh disana..tetapi cinta, perasaan kembali ada ketika kau datang
waktu sudah menunjukan pukul 4 sore. Karna hari sudah sore akhinya kita semua memutuskan untuk pulang. Pertemuan yang sangat singkat antara aku dan juga Aray. Sampai pulang kita berdua juga gak ngobrol dan saling cuek-cuekan. Yaa... itulah aray dingin dan sangat cuek
***
Malam ,
Aku masih teringat pertemuan singkat tadi siang. Ini semua seperti mimpi ataukah aku bermimpi?? Sambil memeluk boneka dan tepar di atas kasur aku memutar kembali saat 6 bulan yang lalu , saat aray meninggalkanku, dan pergi begitu saja tanpa kabar. Dan sekarang dia ada disini menemuiku. Aku tak mengerti apa maksudnya
dret.. dret... ponselku bergetar, tanda sms masuk dan ternyata itu dari Aka.
“natasya.. malem.. apa kabar?”
“hei, baik kok Aka.”
“oh gitu syukur deh.”
“besok bisakan dateng kerumah Aka sya?”
Ya Tuhan.. aku lupa besok tanggal 26 adalah hari ulang tahunnya Aka. Untung saja aku sudah menyiapkan kado untuknya jauh-jauh hari.
“okey, besok natasya dateng kok.”
“mau aka jemput?”
“okeh” diakhiri percakapan pendek itu di sms dan akupun tertidur
***
Esok hari,
Jam 10:00 aka sudah sampai di depan pager rumahku. Aku pun pergi kerumahnya di boncengin naik motor satria nya. Di perjalanan dan di pikiranku kosong, entah apa yang aku fikirkan dan akhirnya setelah beberapa menit di perjalanan kita pun sampai di perumahan blok A rumahnya Aka, disana sudah banyak temen-temennya yang berkumpul. Juga sahabat ku putri.
“ka. Ini kado buat kamu.”
“yaampun natasya, pake repot-repot.”
“yaa.. gpp kkok.”
Kado yang aku berikan untuk Aka adalah angsa-angsaan biru hasil karya ku sendiri, juga striminan yang bertulisan namanya dan hari ulang tahunnya
“Heemm ikut aku bentar yuk,” tanganku di gandeng aka ke arah taman komplek dekat rumahnya. Aku tak mengerti apa maksudnya. Terlintas tiba-tiba di fikiranku. Aku lupa kalo aku berjanji akan menjawabnya iya atau tidak untuk menjadi pacarnya.
“heem.. mau ngapain ya ka?” tanyaku terbata-bata aku masih tidak tau harus menjawab iya atau tidak untuk menerimanya.
“adadeh.” Jawab aka
Sesampainya di taman yang indah dan penuh bunga berwarna-warni disana terpampang bunga matahari yang menjulang tinggi juga pohon anggur di sekeliling taman. Di temani teman-teman aka juga putri sahabatku. Karna dialah aku bisa kenal dengan aka, setelah kepergian Arya 6 bulan yang lalu. Di tengah lapangan Aka melepaskan gandengannya.
“natasya, bagaimana dengan jawaban kamu ?”
“jawaban? Jawaban apa?” aku pura-pura tak ingat
“jawaban, apa kamu nerima aku? Atau tidak.”
Jleeeeeeebbbbb................
Ternyata Aka benar menagih janji itu. Aku tak tau kenapa bisa jadi begini. Awalnya aku memang sudah hampir bisa MOVE-ON dari arya, tapi apa? Arya datang kembali di kehidupanku. Menemuiku walaupun itu tidak sengaja bertemu. Tapi apa daya, Aka cowok yang selama ini 6 bulan aku gantungi perasaannya masa iya aku tolak. Cinta diantara dua hati itu tidak mungkin! Aku mencintai arya juga aka..
“natasya, kok diem?” tanya aka
“hah? Iya...apa?” kataku terbata-bata
Temen-temen aka yang menonton dan menyaksikan itu mereka semua menyoraki kita berdua... terima...... terima....... aku bingung saat itu.
“kamu nerima aku atau tidak natasya... aku sayang kamu.” Di raih nya tanganku
Setelah beberapa menit aku berfikir, akhirnya
“iya Aka, Aku terima.”entah apa yang ku fikirkan tak sengaja aku mengucapkan kata-kata itu, terlambat sudah......
Yeeeeyyyy jadiaaaaan sorak mereka tambah ramai. Orang-orang yang ada di area taman bingung karena saat itu teman-temannya aka berisik dan rame. Meskipun saat itu aku malu. Aku memutuskan untuk menerima aka karna aku juga suka sama dia , walaupun aku masih mengharapkan arya untuk menjadi kekasihku. Tapi itu semua tidak mungkin , arya hanyalah mimpi bagiku takkan pernah ku memilikinya.
“makasih natasyaaaa..... ini boneka taddy bear buat kamu”
“iya... makasih yaa aka.”
Aku tak menyangka akhirnya aku jadian juga sama aka, bertepatan dengan ulang tahunnya. Dia memberiku boneka taddy bear berwarna warna pink, Teman-teman aka juga memberi memberi selamat ke kita berdua. Taman itu menjadi saksi cinta kita berdua.
***
Kejadian kemarin telah berlalu. Kini aku sudah menjadi milik orang lain . aku mungkin bisa belajar untuk menyayangi aka, namun mungkin tak sepenuhnya karna aku masih mengharapkan cintanya arya entah sampai kapan.
Baru sehari kami berdua jadian, berita itu sudah menyebar sampai ke kuping teman-temanku terutama arya. Arya sudah mengetahui kalo aku sudah jadian , arya pun syok mendengar kabar tersebut yang datangnya dari eza. Eza adalah sahabatku sekaligus sahabat dan teman curhatnya arya . jadi apapun yang terjadi denganku pasti eza tau, dan bakal lapor ke arya.
Ponselku tiba-tiba berdering , ternyata ada tlp dari ici sahabatku.
“halo?” sapanya
“iya ci, tumben tlp ada apa?” tanyaku
“gpp, Cuma mau mastiin aja.”
“apa?”
“lo beneran jadian sama aka? Cowok yang sering lo ceritain itu ke gue?.”
“iya ci.”
“selamet ya sayang.”
“eh iya makasih.”
“oh iya, arya udah tau lo jadian?”
“udah, sepertinya dari eza.”
“iya, gue juga tau dari si eza . Kirain itu boongan ternyata beneran.”
“iya, itu semua bener. Gue jadian kemaren tanggal 26 pas ulang tahunnya ci.”
“hmmm... lo udah tau kalo arya nyusul jadian setelah lo jadian sama aka?”
“apa..?” Aku tersentak kaget . tak sengaja ponselku ku banting ke arah tempat tidur, dan untungnya tidak ke lantai, ku ambil lagi dan kudengarkan apa yang sebenarnya terjadi.
“halo sya?”
“ya maaf, tadi hp gue jatoh. Gue kaget abisnya.” Jantungku tiba-tiba saja terasa sesak dan sakit entah kenapa , aku tak mengerti
“jadi gini, hari ini arya jadian sya”
Deeeg......serangan itu kembali ada
“gak, gue gak tau? Emang dia hari ini jadian? Sama siapa?
“sama anak sana yang katanya mirip sama lo, namanya evina.”
“evina? Semoga dia bahagia.” Ku akhiri percakapan itu , walau singkat tapi menyakitkan bagiku.
sungguh aku tak percaya, dan hari ini tanggal 27, ternyata hari ini jugalah arya jadian sama pacarnya evina. Aku tak mengerti apa maksudnya aray dengan semua ini. Ataukah evina yang katanya mirip denganku itu Cuma sebagai pelampiasannya saja?ataukah arya bener-benar menyayanginya? Entahlah.
Kini semuanya tlah berakhir, meskipun aku tak mengerti jalan fikirannya arya. Tetapi aku yakin, dihati kecilnya arya meskipun sedikit saja, dia masih menyisihkan tempat untukku dihatinya dan menyimpan namaku dihati kecilnya.. begitupun aku, meskipun aku sudah mempunyai seorang kekasih , dan dialah yang membuatku menyadari. Menunggu itu tidak enak, apalagi orang yang kita tunggu gak pernah mencoba untuk meraih kita.sungguh menyakitkan. Mungkin arya sama sepertiku, menjalani semuanya tetapi tidak apa yang dia inginkan.
***
Tiba-tiba saja ponselku bergetar ternyata tlp masuk .
“halo?natasya?Sya, hari ini arya mau pulang.”
“pulang?” ternyata sms itu berasal dari sari yang juga teman baikku
“iya pulang, padahal dia baru sebentar di jakarta. Malah belom sempet kangen-kangenan kan sama lo? Eh tapi gak deh lo berdua kan udah sama-sama punya pacar. Tapi gue sih yakin pasti lo berdua masi saling ngarepin iya kan?”
“gak usah nyindir gitu deh sar.”
“haha.. iya maaf” sari tertawa pelan
“oh iya , lo tlp gue Cuma mau ngasi tau kalo dia pulang?’’
“yaa.. gue sedih banget dia hars pulang dan katanya gak akan balik lagi.”
Deeegggg........... tiba-tiba saja air mataku mulai jatuh perlahan setelah mendengar kabar itu dadaku terasa sesak dan saat ini sulit untuk bernafas
“syaa?” panggilnya
“natasya? Lo gak apa-apa kan? Diem aja?”
‘’eh iya sorry apa tadi yang lo bilang, gue gak denger.”
“arya mau pindah dan tinggal di lampung selama 3 tahun. Dia gak akan balik lagi dan pastinya rumahnya yang disini mau di kontrakin.”
“apa?”
“iya bener, eh udah dulu yaa byee..
Sari mengakhiri percakapannya , aku tak mengerti dengan semua ini.. lagi-lagi arya pergi dan ninggalin aku untuk kedua kalinya, tapi ini berbeda dia gak akan kembali. Ini semua tak mungkin. Ku putar lagu pasto aku pasti kembali, dan lagu itu yang menjadi lagu kita berdua dulu. Teringat aku dan arya sering menyanyikan lagu itu berdua.. di pekarangan sekolah sambil memainkan gitar
Reff : aku hanya pergi tuk sementara..
bukan tuk meninggalkanmu selamanya..
aku pasti kan kembali, pada dirimu.. tapi kau jangan nakal, aku pasti kembali..
aku pasti kembali.........
***
Pukul 06.00 pagi,
Aku terbangun dari tidurku, aku tak bisa berhenti menangis tadi malam, mungkin sebabnya mataku sembab dan layu seperti ini. aku tak mengerti mengapa aku menangisinya. Aku tak mengerti apa yang ku tangisi. Cintanya? Ataukah karna arya yang ingin pergi? Entahlah..aku tak mengerti..Seharusnya aku seneng arya pergi dan gak akan kembali lagi, tapi apa nyatanya? Aku malah seperti ini, seharusnya aku sadar aku sudah mempunyai seseorang kekasih begitupun arya.... Aku juga tak mengerti perasaanku gelisah tadi malam, tadi malam aku juga melihat arya tapi aku , aku tak ingat dia ada di mimpiku? Atau dia datang tadi malam. Yang ku ingat dia datang memakai baju putih dan dia tersenyum padaku, dia memegang tanganku dan berbisik. Jangan sedih, karna arya akan selalu ada dihati kamu. Dan kamu selalu ada di hati arya.. mungkin arya gak akan pernah kembali.
Dret..dret.. hp ku berdering, ternyata ada tlp dari eza aku pun cepat-cepat mengangkatnya..
“sya, udah bangun??’’
“ada apa?gue baru aja bangun.”
“lo udah tau kan arya pergi?”
“iya , gue udah tau dari sari dia yang ngasih tau gue kemaren malem.”
“suara lo kenapa?”
Mungkin suaraku begini adalah efek tangisanku tadi malam , aku tak bisa tidur.. hanya arya yang aku fikirkan tadi malam.
“hah? Suara gue? Gpp, gue lagi sakit tenggorokan biasalah radang.
“bohong, lo pasti abis nangis ya?”
“enggak.” Aku memang berbohong sama eza, karna aku tak ingin kawatir.
“ada apa tlp gue pagi-bagi begini? Tumben?’
“iya, gawat sya penting gawat. Arya barusan aja masuk rumah sakit.”
“apaaa?” aku tersentak kaget dan mataku kini sudah tak mengantuk lagi
“iya udeh lo cepetan mandi. Cepet nanti lo gue anter kerumah sakit gue jemput.”
Aku segera mengakhiri tlp, aku bergegas untuk mandi. Dan setelah aku selesai mandi, dan siap untuk berangkat , tiba-tiba saja terdengar bunyi motor depan pagar rumahku, ku lihat dari jendela ternyata itu eza, aku cepat keluar dan pamit tidak sempet sarapan pagi
“za, ceritain ke gue plis.”
“udah cepet naik , nanti gue ceritaiin di jalan.”
Aku segera naik dan meninggalkan rumah. Aku pergi dengan hati yang cemas, selama di perjalanan aku hanya diam dan diam.
‘’sya, jangan diem aja .”
“jelas aja gue diem.”
‘‘ini adalah bukti kalo lo masih sayang banget sama arya, iya kan?”
“gak. Gue Cuma khawatir” kataku ngeles
“Khawatir? Kalo lo Cuma kawatir, gak akan lo mau pagi-pagi kaya gini disuru kerumah sakit buat liat keadaan arya, padahal lo sendiri udah punya cowok. Tapi lo sendiri malah ngawatirin arya di banding cowok lo”
“jelasin ke gue kenapa arya?”
Hening........ aku tak mengerti kenapa suasana menjadi hening.. keadaan pagi yang dingin ini menusuk tubuhku
“eza?’’ panggilku
“eza, arya kenapa?’’ panggilku sekali lagi cemas
“dia... dia.. “
“dia? Dia kenapa zaa.”
Eza tak juga menjawabnya, setelah setengah jam di perjalanan, tak terasa kita sudah sampai dirumah sakit. Setelah eza memarkirkan motornya, aku dan eza langsung pergi menuju ruang kamar tempat arya dirawat. Aku dan eza melihat teman-temanku sudah rame dan berkumpul di ruang kamar arya, aku tak mngerti mereka semua menangis sampai isek-isekan. Apa yang terjadi? Aku tak mengerti . tiba-tiba saja ditengah kerumunan mereka yang sedang menangis, aku melihat seseorang memakai baju putih keluar dari arah pintu kamar rumah sakit tempat arya dirawat. Aku diam dan tak menghampiri seseorang itu. Ku lihat eza sudah tidak ada disampingku. Aku seperti mengenalnya, wajahnya pucat, lesu, dan dia tersenyum kepadaku. Dia itu arya? Apa dia itu arya? Dia tersenyum padaku? Tapi aku heran mengapa mereka semua masih menangis? Sedangkan arya? Dia baru saja kluar dari arah pintu dan tersenyum padaku.... tiba-tiba saja saat aku ingin menghampiri seseorang itu, seseorang itu hilang? Hilaaaang????? Iya, tiba-tiba saja hilang. Aku tak mengerti kemana bayangan itu pergi.
“natasyaaaa..... “ tiba-tiba ici menghampiriku dan memelukku
“ada apa? kok lo nangis?” tanyaku heran, ici masih saja menangis di pelukanku
“arya syaaa... arya.....gue gk percaya dengan semua ini, padahal waktu kemaren kita abis ngmpul bareng.. gue gsk percaya!”
“arya kenapa? Dia baik-baik ajakan? Barusan gue liat dia keluar kamar dan dia senyum sama gue, tapi anehnya dia langsung pergi dan hilang gitu aja pas gue mau nyamperin dia.. yaa.. barusan .” kataku polos tak mengerti
“apa? “ ici menatapku
“iya seius gue gak boong tuh barusan dia kesana” aku menunjukkan ke arah bayangan itu pergi
“arya itu udah gak ada natasya, dia pergi ninggalin kita semua.. bukan untuk pergi dan tinggal di lampung, tetapi dia pergi untuk selamanya.”
“gue gak ngerti, jelas-jelas gue barusan liat dia.”
“ikut gue,” di tariknya tanganku masuk ruang kamar arya
“lihat,dia udah gak ada, gue gak sanggup dengan semua ini.”
“aryaaaaa... aku menghampiri arya yang terbaring lemas dan kaku, juga pucat dan tangannya begitu dingin.”
“arya, bilang ke gue kalo ini gak bener. Aryaaa buka mata lo, bilang kalo ini gak bener. Kenapa lo gak mau buka mata lo , aryaaa plis.” Aku tak bisa menahan tangis
“arya, plissss arya gue mohon, jangan ninggalin natasya dengan cara seperti ini natasya gamau ditinggal arya, natasya sayang banget sama arya. Arya bilang, kalo ini bohong, tangan arya dingin banget, arya sakit? Arya kedinginan? Tadi arya baru aja senyum ke natasya aryaaa bangun.”
Saat itu aku tak bisa menahan tangis, tangan arya saat itu dingin banget semua itu bisa ku rasakan. Tetapi dokter langsung membawanya, ku lihat terakhir kali arya tersenyum padaku, ini mimpi? Katakan ini mimpi padaku.
“natasya?’’ seseorang menarik tanganku, entah itu siapa dia langsung memelukku
“ikhlasin dia natasya, dia udah gak ada jangan menangis terus, ikhlasin dia.”
Aku tak bisa menahan tangis, aku sekarang rapuh, aku tak bisa apa-apa dengan kenyataan pahit ini. batinku
“ikhlasin dia natasya, ini semua demi kebaikannya.” Aku masih terhanyut dalam susana dan juga didalam pelukan seseorang itu, ketika aku membuka mata ternyata seseorang itu adalah aka, pacarku yang juga ada disana.. menyaksikan itu semua
“ayok kita keluar, aka jelasin semuanya.”
Teman-temanku masih saja menangis, dan juga ku lihat eza sepertinya dia juga sangat terpukul. Aku mengerti perasaan eza, dan juga teman-temanku semuanya.
Ternyata, aka membawaku ke kursi taman belakang rumah sakit.
“aka udah denger semuanya sayang.”
“maafin natasya, maafin natasya.” Kataku pelan
“gk usah minta maaf, justru aka yang minta maaf sama kamu. Mungkin kalo kamu denger ini semua kamu nantinya bakalan benci dan marah sama aka, pacar kamu.”
“kenapa kamu ngomong gitu?” tanyaku tak mengerti
“kamu tau? Kamu ingat 6 bulan yang lalu pas arya pergi ninggalin kamu tanpa pamit?”
“iya aku ingat?”
“dia itu pergi ninggalin kamu karna dia sakit, bukan karna dia sekolah di pesantren juga. Dia Cuma nyari alesan yang masuk akal.Selama itu dia pergi untuk berobat kesana-sini. Tapi itu semua gagal. Pengobatan itu sempat berhasil, tetapi tidak berlangsung lama.”
Hening..... aka melanjutkan ceritanya
“selama dia pergi untuk tinggal di lampung, dia bilang kalo dia pindah ke pesantren.. padahal tidak sayang.. dia pergi bersama orang tuanya untuk berobat. Dia punya penyakit jantung. Kemaren pas kamu main sama dia sama teman-teman kamu ,mungkin saat itu keadaan arya sudah pulih tetapi , arya drop dan harus pulang dan pindah ke lampung selama 3 tahun untuk menjalani pengobatan. Orang tuanya arya terpaksa pindah kesana, karna tidak mungkin bolak-balik dengan kondisi arya seperti itu lampung-jakarta itu lumayan jauh.”
“selamaya 6 bulan, arya menitipkan kamu ke aku. Karna aku sahabat baik arya sejak kecil. Hanya aku yang tau tentang penyakitnya,selain keluarganya sel. Maafkan aku, natasya... seharusnya dari awal aku jujur sama kamu. Pas kita jadian tanggal 26 kemarin, arya mengetahui kabar itu. Awalnya aku gak enak sama dia, tapi aku bener-bener sayang dan tulus sama kamu itu semua aku lakuin untuk ngejagain kamu. Pas arya tau kita jadian, dia pesen sama aku , supaya kamu suatu saat nanti dia udah gak ada, kamu harus bisa ngikhlasin dia. Ini semua demi kebaikannya natasya.ini semua udah ada yang ngatur”
“Tadi aku juga menemaninya sbelum ajal menjemputnya. Dia berpesan padaku sayang, katanya dia minta maaf sama kamu dan teman-teman kamu juga. Karna dia gak mau buat kamu sedih juga semuanya. Tadi aku juga udah cerita ke semua teman-teman kamu dan tadi aku suruh eza jemput kamu. Maafin aku terlambat ngasih tau kamu.”
Tangisku semakin tak terkendali, aku tk bisa menahan semuanyaa.... ini semua telah berakhir, dan akupun kini harus membuka hatiku untuk orang lain
“ aku gak marah sama kamu, aku juga ngerti kalo misalnya aku ada di posisi kamu saat itu. Aku ikhlasin , walaupun aku masih sakit dan sangat terpukul.”
“ya, seharusnya kamu bersikap seperti itu sayang, itu semua udah tuhan yang atur. Kita sebagai umatnya hanya bisa sabar, ikhlas, dan menerima.”

Tuhan... jika ini semua sudah menjadi jalan takdirku,aku ikhlas Tuhan...
Tabahkan aku , berilah tempat yang nyaman disana buat Arya Tuhan...
Sayangi dia, dan meskipun Arya sudah tidak ada di dunia ini. tapi aku masih tetap menyayanginya... sampai nanti ku menutup mata...
SELESAI

Cerpen Persahabatan

Maaf dan Terimakasih

Karya Nita
 "Hmm," terllihat seorang perempuan menggeliat di atas ranjangnya. Ia merubah posisinya menjadi duduk. Ia menghela napas panjang dan memandang jendela besar di sebelah kiri ranjangnya. Gelap. Hanya ada bintang dan bulan yang menghiasi malam kelamnya. Terdengar suara air yang bersentuhan dengan tanah secara teratur. Melodi yang damai dan menenangkan. Ia melirik jam digital yang terdapat di sebelahnya. "Haah, aku bangun tengah malam lagi," gumamnya setelah melihat jam yang menunjukan pukul 02.36. Sudah menjadi kebiasaannya beberapa hari terakhir untuk bangun larut malam. Ia tidak mempermasalahkannya lagi dan mulai berjalan kearah jendela untuk duduk disana. Menyingkirkan tirainya dan membukanya. Memandang hujan yang turun dengan derasnya. Juga semilir angin yang menghantam wajahnya.

Ia memejamkan matanya, berusaha untuk menikmati keseluruhannya. Memori-memori itu terlintas dibenaknya lagi. Musik. Senyumannya. Kejadian yang dramatis dibawah hujan yang lebat. Dimana semua orang lebih memilih untuk berlindung daripada melawan dinginnya angin. Air mata yang menyatu dengan air hujan. Mengalir dan terjatuh di tanah. Janji yang terucap yang bahkan ia tak tahu bagaimana melaksanakannya.
Maaf dan Terimakasih
***
9 tahun lalu...

Terlihat dua orang anak gadis yang sedang memakan makan siangnya di bawah pohon besar. Mereka asyik bercengkrama dan sesekali tertawa. Senyum selalu menghiasi wajah kedua gadis itu. Pohon besar itu adalah saksi bisu keakraban mereka. BUKK!! Sebuah bola menghantam salah satu dari gadis itu.
"Terra, kamu gak apa-apakan? Siapa yang nendang bola ini?!" teriak gadis berambut panjang. "Aku gak apa-apa kok, Sher. Santai aja. Paling mereka gak sengaja." jawab orang yang bernama Terra dengan senyum. "Iya. Makanya kalo main bola hati-hati dong!" Shera memberikan tatapan tajam kepada sekelompok anak laki-laki itu sebelum melempar bolanya kearah mereka. Shera kembali duduk disamping Terra. Bekal mereka telah habis, namun mereka masih ingin duduk dibawah pohon itu.
"Mm, Ter, kamu mau jadi apa kalo kamu sudah besar nanti?" tanya Shera. Matanya memandang langit yang berawan seakan-akan membayangkan apa yang akan ia lakukan ketika ia sudah dewasa.
"Entahlah," jawab Terra yang juga sedang memandang langit. "Dulu aku pernah bermimpi akan menjadi penyanyi karena aku suka sekali bernyanyi." lanjut Terra. "Kamu bisa bernyanyi? Coba dong, kamu nyanyi! Aku belum pernah dengar!" Kata Shera antusias sambil menatap Terra.
"Eh? Aku..aku hanya suka bernyanyi. Bukan berarti suaraku bagus." Shera menyerngitkan alisnya. "Tak apa! Aku hanya ingin dengar! Aku tidak akan mentertawakanmu! Aku juga ingin menjadi violinist terkenal! Nanti kalau sudah besar, kita berduet ya!" ajak Shera bersemangat. Terra tersenyum dan mengangguk kecil. "Janji?" Tanya Shera sambil menunjukan kelingkingnya. "Iya. Aku...janji," balas Terra sambil mengaitkan kelingking mereka.

***
Ia merasakan pundaknya di goyangkan oleh seseorang dan terdengar samar-samar suara orang tersebut. "-Ra, ayo bangun. Hari sudah siang, nih! Ter.., Terra," Terra menyerngitkan dahinya dan perlahan membuka kelopak matanya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan mulai berdiri dari tempat duduknya. "Mm, Raysha. Jam berapa sekarang?" tanya Terra. "Jam 7! Sana mandi, terus kita langsung ke Festival Paskah Beethoven." ujar Raysha sambil menyenggol pundak Terra lagi. "Iya..iya," Terra berjalan pelan menuju kamar mandi.
Setelah mengenakan pakaian yang menurutnya cukup pantas, ia berjalan keluar menemui Raysha yang sedang sarapan. "Wah, kamu cukup cantik mengenakan pakaian itu," puji Raysha yang tak ditanggap oleh Terra. Mereka melanjutkan sarapan dengan keheningan dan beberapa perkataan dari Raysha. "Ayo," ajak Terra yang diikuti Raysha.
Tak lama setelah mereka sampai di Istana Kerajaan dan Balai Konser Philharmonic, Festival Paskah Beethoven dimulai. Terdengar lagu-lagu klasik terkenal yang dimainkan oleh 30 musisi dari berbagai belahan dunia.
"Ah, Sorry," ucap Raysha ketika tak sengaja menyenggol orang disana. "Never mind," balas orang itu. "Ray, ada a..pa?" ucapan Terra terhenti ketika ia melihat siapa yang berada di dekat Raysha saat ini. "Oh, Terra. Tadi aku gak sengaja nyenggol orang ini." Perkataan Rayshapun diacuhkannya.

Mata Terra terbelalak lebar. "Shera?" tanya Terra pelan. Orang yang disebut sebagai Shera menyerngitkan alisnya pertanda dia bingung dan heran. "Kamu berasal dari Indonesia?" Tanya orang itu senang. Senyum muncul di wajahnya yang cantik itu. "Kamu...tidak ingat aku?" tanya Terra sedih. "Apa maksudmu? Aku memang tak mengenalimu. Mungkinkah kamu berpikir aku Shera?" tanya orang itu balik. Wajahnya berubah menjadi sedih. Terra terlihat makin bingung dengan perkataan gadis itu. 'Bukannya dia memang Shera?' Batinnya. Raysha yang tak tahu apa-apa hanya diam memperhatikan mereka berdua.
"Aku..saudara kembarnya," jawab orang itu pelan. Terra baru akan mengatakan sesuatu sampai gadis itu kembali berbicara. "Kau pasti bertanya kenapa dia tidak memberitahumu? Dulu orangtua kami bercerai. Shera diasuh oleh ayah kami dan aku diasuh oleh ibu. Oh ya, aku belum mempekenalkan diri. Aku Sahla," Orang yang bernama Sahla mencoba untuk tersenyum. Ia mengulurkan tangannya dan dijabat oleh Terra. "Terra," jawab Terra singkat. Ia memaksakan dirinya tersenyum.
"Shera...sudah meninggal." dan Terra tak dapat menahan rasa keterkejutannya. Beberapa tetes air mata meleleh melewati pipinya itu. Ia bahkan belum menepati janjinya untuk berduet bersama Shera. Dan dia belum meminta maaf pada Shera. Memori-memori akan perpisahannya dengan Shera kembali memenuhi pikirannya.

***
6 tahun yang lalu...

Di aula sebuah sekolah terlihat sangat ramai hari ini. Aula SMP Benih Harapan, tempat Terra dan Shera bersekolah sedang mengadakan acara. Acara perpisahan sekaligus kelulusan angkatan 29 di SMP Benih Harapan. Semua orang tua yang datang tersenyum haru melihat anaknya telah lulus dari SMP. Terra melihat teman-teman seangkatannya sedang berbicara akrab dengan orang tua mereka. Sejujurnya, ia iri. Orang tuanya bahkan lebih memilih mengurus perusahaan mereka di luar negeri daripada mengunjungi acara kelulusannya. Duk.. Seseorang menyentuh bahunya keras. Ia tahu itu adalah kebiasaan Shera. Ia berbalik dan melihat Shera menatapnya dengan senyum tulus. "Jangan terus memandang mereka seperti itu. Orang tuamu pasti memiliki alasan kuat untuk itu. Aku dengar kamu peringkat 4 seangkatan loh..." Shera selal tahu bagaimana cara menghibur Terra. Ia menggoda Terra terus-terusan membuatnya malu.
"Baiklah anak-anak, kita sampai pada acara kita selanjutnya. Acara Unjuk Bakat setiap kelas!" Dan terdengar sorak dan tepuk tangan meriah dari para murid. "Ssstt.. Kemarin saat kau tidak masuk, kami sekelas disuruh memilih siapa yang akan mengikuti acara unjuk bakat ini. Karena tidak ada yang mau, aku mengusulkan kamu sebagai penyanyi dan mereka semua setuju." bisik Shera kepada Terra. Terra merasakan jantungnya berdebar grogi dan keringat dingin mengucur dipelipisnya. "A..Apa?" lirih Terra. "Dan selanjutnya dari kelas 9.3!" seru pembawa acara. "Terra! Terra! Terra! Terra! Terra!" seluruh murid dari kelasnya menyorakan namanya. Tak terkecuali Shera. Terra di dirong maju oleh Shera keatas panggung. Ia melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju panggung dengan bergetar.
"Baiklah Shera, disini tertulis kamu akan bernyanyi. Apa yang akan kamu nyanyikan?" Tanya si pembawa acara. "Aku..aku..aku akan bernyanyi...emm. Twinkle Twinkle Little Star!" ujar Terra ragu. "Kenapa memilih lagu itu?" tanya si pembawa acara lagi. "Karena..karena.. lagu itu mengingatkan kita pada masa kecil. Jadi kita tidak akan melupakan masa kecil kita walau sudah beranjak dewasa." ujar Terra ragu lagi. "Baiklah mari kita mulai! 1! 2! 3!" berbagai alat musik mulai berbunyi. Namun, Terra tak kunjung bernyanyi. Ia menggenggam mic itu dengan erat. Sampai musik berhentipun ia tak kunjung bernyanyi. Semua menatap heran padanya. Terutama Shera. Ia memberanikan diri untuk berbicara. "Aku..aku..aku tidak bisa!" ucap Terra sedih. Air mata mulai mengucur di wajahnya. "Terra.." gumam Shera. Terra segera menjatuhkan mic itu dan berlari keluar dari aula sekolahnya.

Karena musik yang terlalu keras didalam, ia tak tahu bahwa keadaan diluar sedang hujan. Dengan nekat, dia menerobos derasnya hujan. "Terra!" seru seseorang. Terra berhenti dan berbalik. Disana Shera berjalan menuju dirinya tanpa membawa payung. Nekat menerobos hujan seperti Terra. "Kenapa? Kenapa kau tidak menunjukkan bakatmu Terra?" hujan membasahi keduanya. "Karena..aku tak bisa! Aku tak bisa bernyanyi!" ucap Terra pasrah. "Kau bisa bernyanyi. 
Tapi kau tak mau menunjukannya." balas Shera. "Sejak awal kau ingin bernyanyi. Hatimu berkata kau ingin bernyanyi. Hanya saja, kau terlalu takut untuk mencobanya. Terlalu tak percaya diri! Kau menghancurkan keparcayaan kami. Tak bisa diandalkan." ucap Shera tajam. "Dari awal aku tak mau melakukannya! Kalian memintaku tanpa meminta persetujuanku! Aku...Aku takut! Aku..tak bisa..Aku tak bisa melakukannya." balas Terra. "Kalau begitu...aku juga tak bisa...Aku juga tak bisa berteman denganmu..Aku tak bisa berteman dengan seorang pecundang!" Kalimat terakhir Shera sangat menyakiti hatinya. Tangisannya pecah bersamaan dengan Shera yang melangkah menjauhinya. Air matanya bahkan tak dapat dibedakan dengan air hujan. Ia terus berdiri disana menatap pintu gerbang sekolahannya. Tak ada yang menemuinya lagi. Tak ada. Hanya hujan yang menemaninya menangis. Dan angin yang berhembus seiring dengan mendinginnya hati Terra.
***

Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan baru menyadari bahwa sekarang dia berada di kamarnya. "Kau sudah bangun?" Tanya Raysha pelan. Ia mengangguk lemah dan berharap apa yang baru saja dialaminya tadi hanya mimpi. "Apa tadi...aku pingsan?" Tanya Terra. Raysha tersenyum lembut dan mengangguk. "Berarti semuanya benar-benar terjadi. Apa yang dikatakannya saat aku pingsan tadi?" Raysha menunduk sebentar dan menjawab, "Baiklah kalau kau ingin tahu. Sahla bilang Shera meninggal 6 tahun yang lalu." Mata Terra kembali melebar. Berarti..."Ia meninggal saat sehari setelah kelulusannya. Dia ingin memberikanmu surat sebagai tanda permintaan maafnya. Tapi, dia lebih memilih menyelamatkan seorang anak kecil yang berada di tengah jalan raya. Ia ingin memberikan ini untukmu," Raysha menyodokan selembar amplop putih yang telah kusut dan agak kotor.
'Hi, Terra. Aku tahu ucapanku kemarin terlalu berlebihan. Aku hanya ingin menumbuhkan rasa percaya dirimu. Aku memang salah. Seharusnya aku meminta pendapatmu dulu sebelum bertindak. Aku pernah mendengar rekaman suaramu di HP mu. Suaramu bagus, Terra! Sangat bagus! Kenapa kau tidak bernyanyi saja sih.

Tahu tidak, semua murid di kelas kita merasa bersalah loh, denganmu! Aku harap kamu mau memaafkan mereka dan juga aku. Aku sengaja mengucapkan maafku melalui surat ini karena aku masih malu bertemu denganmu kerana kejadian kemarin. Aku merasa tidak pantas dimaafkan. Hehehe... maafkan aku dan yang lainnya ya? :)'

Terra meneteskan air mata dalam diam. Tak terdengar isak tangisnya. 'Andaikan kau tahu Shera, aku sudah memaafkanmu bahkan aku berterima kasih padamu. Setelah kejadian itu, aku berubah menjadi gadis yang pemberani dan percaya diri. Terima kasih ya... Aku juga minta maaf karena dulu tidak dapat diandalkan dan telah membuat kalian malu. Kau tahu...sekarang aku sudah menjadi penyanyi terkenal dan satu lagi. Aku minta maaf karena tidak dapat melaksanak janji kita..' Dan Terra tersenyum tulus. Senyum tulus yang pertama kali ini ia berikan.

Minggu, 16 November 2014

~::*SAAT KHADIJAH JATUH CINTA PADA NABI MUHAMMAD SAW*::~

Wanita mana yang tidak terpikat oleh pemuda seperti ini? Ia tampan, kaya, cerdas, keturunan orang terhormat, dan paling mulia akhlaknya di Jazirah Arab. Menjelang tengah hari, sebuah kafilah dagang dari negeri Syam tiba di Makkah. Tak lama kemudian kafilah dagang itu memasuki pelataran sebuah rumah besar dan bagus.

Dari dalam terlihat seorang wanita berusia bergegas ke luar dan menyambut kafilah dagang yang sangat dinantikannya. Dari mimik mukanya tampak gurat-urat kegembiraan. Tak lama kemudian, terjadi percakapan antara wanita yang bernama Siti Khadijah itu dengan Nabi Muhammad bin Abdullah, pemuda yang memimpin kafilah dagang. Didengarkannya pemuda Nabi Muhammad berbicara dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanan dagangnya ke negeri Syam, serta keuntungan yang diperoleh dari perdagangan tersebut. Demikian juga, Khadijah mendengar penjelasan Muhammad tentang barang-barang dari Syam yang berhasil ia bawa beserta kafilahnya. Khadijah sangat gembira dan terlihat antusias sekali mendengarkan cerita tersebut.

Sesaat kemudian datanglah Maisarah; orang kepercayaan Khadijah yang menyertai Nabi Muhammad berdagang ke Syam. Ia pun menceritakan pengalaman-pengalaman yang ditemuinya selama perjalanan. Semua yang diceritakan Maisarah makin menambah pengetahuan Khadijah tentang Nabi Muhammad.  Sebelumnya, Khadijah pun tahu bahwa Nabi Muhammad adalah sosok pemuda yang sangat mulia akhlaknya. Dalam waktu yang singkat, rasa simpati itu berubah menjadi rasa cinta. Khadijah tertarik untuk menjadikan Nabi Muhammad bin Abdullah sebagai pendamping hidup.

Apa yang menyebabkan Siti Khadijah simpati lalu jatuh hati pada sosok pemuda Nabi Muhammad? Bukankah Khadijah adalah seorang konglomerat wanita terkaya di Makkah saat itu, sedangkan nabi Muhammad hanya seorang 'pemuda biasa'? Mengapa pula Khadijah 'berani' menjadikan Nabi Muhammad sebagai suami, bahkan ia yang berinisiatif melamarnya, padahal sebelumnya banyak pembesar Quraisy yang mengajukan lamaran, dan semuanya ditolak?

Ada beberapa faktor penyebab. Pertama, faktor kesepadanan atau kesekufuan. Adalah sesuatu yang wajar bila seseorang jatuh cinta pada orang yang memiliki banyak kesamaan dengan dirinya daripada perbedaan. Orang pun akan cenderung memilih pendamping hidup yang sekufu (sederajat), baik dari sisi harta, ideologi, gaya hidup, keilmuan, dan kepribadian.

Khadijah mencintai Rasulullah SAW, boleh jadi, disebabkan karena Nabi Muhammad Rasulullah SAW memiliki banyak 'kesamaan' dengan dirinya. Khadijah adalah wanita mulia,Nabi  Muhammad SAW pun seorang lelaki mulia, sehingga Khadijah pun cenderung memilih pendamping yang akhlaknya mulia. Khadijah adalah seorang konglomerat, sedangkan Rasul seorang entrepreneur dan marketer yang hebat. Rasul berasal dari keturunan orang-orang terpandang, begitupun Khadijah. Kedua karakter yang memiliki banyak kesamaan ini jelas lebih mudah bersatu. Di luar ketentuan Allah SWT, Khadijah tertarik pada Rasulullah SAW karena beliau adalah seorang profesional. Sampai usia 25 tahun, Rasul telah melewati tahap-tahap kehidupan sebagai seorang profesional di bidangnya (pedagang).

Mengkaji pribadi Rasulullah SAW, kita akan mendapatkan jiwa entrepreneurship yang sudah dipupuk sejak usia 12 tahun, tatkala pamannya Abu Thalib mengajak melakukan perjalanan bisnis ke Syam, negeri meliputi: Suriah, Yordania, dan Lebanon saat ini. Demikian juga sebagai seorang yatim piatu yang tumbuh besar bersama pamannya, Beliau telah ditempa untuk tumbuh sebagai seorang wirausahawan yang mendiri. Maka ketika pamannya tidak bisa lagi terjun langsung menangani usaha, pada usia 17 tahun Nabi Muhammad telah diserahi wewenang penuh untuk mengurusi seluruh bisnis pamannya. Kedua, dilihat dari segi fisik Rasulullah SAW sangat sulit dikatakan jelek. Muhammad Husein Haikal dalam bukunya Sejarah Hidup Nabi Muhammad dengan baik menggambarkan bagaimana indahnya wajah Rasulullah SAW.

''Paras mukanya manis dan indah, perawakannya sedang, tidak terlampau tinggi juga tidak pendek, dengan bentuk kepala yang besar, berambut hitam antara keriting dan lurus. Dahinya lebar dan rata di atas sepasang alis yang lengkung lebat dan bertaut, sepasang matanya lebar dan hitam, di tepi-tepi putih matanya agak kemerah-merahan, tampak lebih menarik dan kuat; pandangan matanya tajam dengan bulu mata yang hitam pekat. Hidungnya halus dan merata dengan barisan gigi yang bercelah-celah. Cambangnya lebat sekali, berleher agak panjang dan indah. Dadanya lebar dengan kedua bahu yang bidang. Warna kulitnya terang dan jernih dengan kedua telapak tangan dan kakinya yang tebal. Bila berjalan badannya agak condong ke depan, melangkah cepat, dan pasti. Air mukanya membayangkan renungan dan penuh pikiran, pandangan matanya menunjukkan kewibawaan, hingga membuat orang patuh kepadanya.''

Ketampanan Rasulullah SAW terasa makin lengkap dengan gerak-geriknya yang menawan. Dikisahkan pula oleh Ummu Ma'bad bagaimana sikap beliau, tatkala ia melihat Rasulullah SAW dalam perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah: ''Aku melihat seorang lelaki dengan wajah berseri-seri dan bercahaya... Jika ia diam maka tampaklah kharismanya. Jika sedang berbicara, ia tampak begitu agung dan santun. Ia tampak paling muda dan paling rupawan bila dipandang dari kejauhan, juga paling tampan dan memesona di antara rombongannya.

Ucapannya menyejukkan, perkataannya jelas; tidak sedikit dan tidak pula bertele-tele, sebagai buah dari kecerdasan. Beliau adalah orang yang paling menarik dan kharismatik di antara ketiga sahabatnya (Abu Bakar dan seorang penunjuk jalan).''

Keindahan perilaku Rasulullah SAW bersumber dari kemuliaan akhlak dan kejernihan jiwa. Inilah faktor ketiga yang membuat Khadijah jatuh cinta. Muhammad adalah sosok pemuda berakhlak mulia, bahkan puncak dari akhlak yang mulia. Dengan karunia Allah SWT, dalam diri beliau terkumpul semua akhlak terpuji yang dikenal manusia: kejujuran, kedermawan, ataupun kelembutan. Tak ada satu sisi pun dalam diri beliau tanpa budi pekerti yang luhur. Akhlak Rasulullah SAW adalah sebuah keistimewaan, hingga beliau 'meringkas' misi dakwahnya dalam sebuah hadis, ''Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia'' (HR Bukhari dan Hakim).

William Moir, seorang pujangga asal Prancis, mengungkapkan bagaimana indahnya akhlak Rasulullah SAW. Ia berkata, ''Sederhana dan mudah adalah gambaran seluruh hidupnya. Perasa dan adabnya adalah sifat yang paling menonjol dalam pergaulan beliau dengan pengikutnya yang paling rendah sekalipun. Tawadhu, sabar, penyayang, dan mementingkan orang lain lagi dermawan adalah sifat yang selalu menyertai pribadinya dan menarik simpati orang di sekitarnya. Tidak seorang pun di sampingnya yang merasa bahwa ia tidak memperhatikannya secara khusus, meski orang itu adalah seorang gembel. Jika bertemu dengan orang yang berbahagia karena suatu keberhasilan, maka ia menggengam tangannya dan ikut merasakan kegembiraan. Jika bersama dengan orang yang tertimpa musibah dan dirundung kesedihan, beliau pun ikut larut merasakan kesedihan mereka. Beliau sangat perasa dan pandai menghibur.''Karenanya, wanita mana yang tidak terpincut oleh pemuda seperti ini?

Minggu, 19 Oktober 2014

Kata Mutiara Bijak

Harapan adalah tiang yang menyangga dunia. (Pliny the Elder)

Kalau manusia berangsur menjadi tua, umumnya ia cendrung menetang perubahan, terutama perubahan ke arah perbaikan. (John Steinbeck)

Selama hidup saya yang sudah 87 tahun ini, saya telah menyaksikan serentetan revolusi teknologi. Tetapi tidak satu pun diantaranya yang tidak membutuhkan watak yang baik atau kemampuan untuk berfikir. (Bernard M. Baruch)

Pendidikan mempunyai akar yang pahit, tapi buahnya manis. (Aristoteles)

Pendidikan mengembangkan kemampuan, tetapi tidak menciptakannya. (Voltaire)

Pendidikan yang baik tidak menjamin pembentukan watak yang baik. (Fonttenelle)

Setelah makan, pendidikan merupakan kebutuhan utama rakyat. (Danton)